Dua kali mengetes kejujuran para kondektur Metromini 640 Jurusan Tanah Abang Pasar Minggu, hasilnya kurang memuaskan. Caranya? Diam-diam saya membayari ongkos Metromini teman satu instansi saya, walau tidak kenal. Saya memberi uang 4000 perak kepada kondektur untuk ongkos angkut saya dan teman yang ada di depan. Saya tunjuk dari belakang seorang perempuan berjilbab. Saya yakini betul kondektur itu untuk tidak menagih lagi ongkos padanya.
Kondektur melewati teman saya walau ia sudah menyodorkan uangnya. Dan ketika sudah sampai ke tujuan dan ia hendak turun, teman saya itu kembali menyerahkan uang dua ribuannya kepada kondektur. Kondektur itu melihat dulu ke arah saya, karena dia tahu saya mengawasinya, ia cuma bilang “sudah dibayari sama yang di belakang.” Teman saya bingung siapa lagi yang bayari dia. Saya pura-pura melihat ke arah lain. Apa coba yang terjadi kalau saya tidak memelototi kondektur itu?
Hari yang lain juga sama. Untuk ini saya serahkan uang enam ribu rupiah kepada kondektur buat dua orang teman saya yang ada di depan, tentu tanpa sepengetahuan mereka. Kondektur melewati mereka. Namun karena dua teman saya itu tak tahu ada yang membayari mereka maka pada saat turun mereka tetap menyerahkan uangnya kepada kondektur. Kondektur itu menerimanya walau tahu mereka sudah dibayari saya. Seharusnya kondektur itu bilang, “ada yang bayarin.” Apa susahnya?
Dua orang kondektur itu bagi saya masih diragukan kejujurannya. Tapi eksperimen saya masih sumir karena mengambil sampel yang cuma sedikit. Yang membanggakan adalah teman-teman saya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini, integritas mereka teruji sudah. Merasa belum bayar, mereka tidak langsung menyimpan uangnya kembali ke saku, memanfaatkan kesempatan lupanya kondektur untuk mengirit dua ribu perak, tetapi membiarkan uang itu tetap dipegang di tangannya dan akan diserahkannya pada saat turun nanti.
Akan ada yang berpikir begini bahwa mereka—teman-teman saya ini—belum teruji karena cuma disodorkan kesempatan “menilap” uang recehan yang tidak bernilai itu. Kalau uang milyaran di depan mata, siapa tak akan mau? Sebenarnya jawabannya mudah. Kalau yang kecil saja tidak bisa ditolak bagaimana mungkin akan menolak yang bernilai besar? Semua itu dimulai dari hal-hal yang kecil. Hari itu saya bangga mempunyai teman seperti mereka.
Di kesempatan lain, ada teman yang pernah menjadi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di daerah Kalimantan namun meninggalkan kesempatan besar untuk menjadi PNS itu hanya karena banyak hal yang bertentangan dengan idealismenya. Saya ingin menceritakannya sepintas.
Seperti kita ketahui bersama, begitu banyak orang terpikat untuk menjadi PNS, oleh karenanya saat lowongan penerimaan PNS dibuka, ribuan orang turut serta berbondong-bondong untuk mendaftarkan diri. Bagi yang tak mau capek dan ingin hasil yang instan, segala cara bisa dipakai. Mulai dari menggunakan jalur koneksi, dukun, sampai sogok menyogok. Seringkali pada akhirnya mereka hanya menjadi korban penipuan saja.
Tak masalah jika dari hasil seleksi itu yang diterima adalah mereka yang benar-benar berkualitas. Masalahnya adalah jika mereka yang tak mau capek dan memakai segala cara itu ternyata ikut diterima juga. Lalu akan jadi birokrat seperti apa mereka? Pun, apakah mereka yang diterima dengan cara yang benar dijamin akan menjadi seorang birokrat yang mampu memegang idealismenya? Tentu ini tergantung antara lain dari budaya yang ada di tempat kerjanya, keteladanan para seniornya, dan komitmen para pemangku kepentingan utama untuk menjalankan good corporate governance.
Ceritanya, teman saya ini diterima sebagai CPNS dengan cara yang jujur dan langsung ditempatkan di salah satu dinas di sana ketika lulus. Hanya empat bulan dia bertahan dengan suasana yang penuh ujian terhadap integritasnya. Mulai dari disuruh me-markup laporan pertanggungjawaban, lembur dan rapat fiktif, menerima uang tidak jelas sebesar 50 ribu sampai 100 ribu rupiah sehari, atau sekadar dicatut namanya pada kegiatan tertentu lalu ia tinggal menikmati hasilnya. Ia protes atas semua itu.
Ia yang sudah diajarkan tentang nilai idealisme dan menyampaikan kebenaran walau pahit sejak kecil, merasa menjadi PNS bukan dunianya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari zona nyamannya, keluar dari menjadi Calon PNS. Dengan meninggalkan kesempatan untuk menjadi PNS, gaji Rp3,5 juta waktu itu dan akan bertambah besar, serta mendapatkan jaminan pensiun kelak. Dan ia bersedia untuk membayar Rp10 juta untuk pengunduran dirinya. Sekarang ia hanya menjadi seorang guru SDIT saja. Mendengar ceritanya, hari itu saya bangga mempunyai teman sepertinya.
Dua cerita ini menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan saya sendiri pada saat diskusi di dalam bus yang membawa kami pulang dari Pengadilan Pajak. Masih adakah orang jujur untuk melanjutkan reformasi birokrasi yang dirasa berjalan lambat ini dan karena adanya peristiwa-peristiwa yang mencederai semangat reformasi itu? Faktanya ada. Masih banyak orang jujur. Tidak hanya di DJP, di luar DJP juga tidaklah sedikit.
Begitu pula potensi korupsi dan orang-orang yang tidak jujur tidak hanya ada pada instansi pemerintah, tetapi juga pada instansi swasta yang profesional dan kredibel, seperti Citibank misalnya. Sebagaimana sudah diketahui kalau Citibank ini adalah bank terkenal, mendunia, disebut juga sebagai universitas perbankan, mempunyai kultur kerja yang baku, nilai-nilai yang sudah inheren, sistem perbankan yang canggih dan modern. Tetapi sebutan itu tak berdaya di hadapan seorang Malinda Dee yang disangka telah membobol lebih dari Rp17 milyar selama 3 tahun.
Malinda diuntungkan karena tempatnya bekerja. Dia tidak langsung disebut sebagai seorang koruptor ketika menyelewengkan uang nasabah, cuma penggelap. Beda dengan teman-teman saya di atas jika tidak melakukan perbuatan tidak jujur itu. Stigma koruptor langsung melekat. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring disebutkan pelaku yang menyelewengkan uang Negara atau perusahaan adalah koruptor.
Jarang pengamat yang menyalahkan sistem perbankkannya yang bobrok, semuanya mengarah pada niat dan kesempatan terbuka yang dimanfaatkan oleh Malinda. Tidaklah sama dengan yang diterima institusi pemerintahan seperti DJP yang berusaha untuk menjadikan sistem pelayanannya diterima masyarakat dengan baik. Seberapa bagusnya sistem tersebut, selain orang yang disalahkan maka sistemnya pun menjadi ajang terbuka untuk dihujat. Inilah risiko ketika reformasi birokrasi dimulai dari sebuah awal yang buruk berupa stigma masa lalu: birokrasi korup.
Pada akhirnya teman-teman saya di atas, PNS dan CPNS itu, terbukti lebih bersahajanya daripada Malinda Dee ketika kesempatan itu terbuka di depan mata.
Riza almanfaluthi
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar