Ancaman sanksi yang telah menunggu Brigadir Satu Norman Kamaru itu dikarenakan yang bersangkatan dianggap melanggar etika karena menjalankan aktivitas bernyanyi saat berdinas dan berpakaian resmi Kepolisian. Semua ini terjadi karena aksi prajurit polisi itu masuk ke situs Video YouTube sehingga dengan leluasa bisa diakses secara mudah dan luas oleh publik seantero dunia.
Prajurit polisi ini tentu tidak mengira jika aksinya akan menyita perhatian banyak pihak. Aksi ini menyanyi juga terlihat dilakukan secara spontan, sehingga tidak memiliki target komersial apalagi bermotif pencitraan seperti yang sering dilakukan kaum politisi/ pejabat.
Terhadap ancaman yang secara serius akan diberikan kepada Polisi yang ketahuan bernyanyi India itu tentu tidak terlalu urgen dan cenderung dibesar-besarkan karena masih banyak persoalan yang melilit citra Polri yang justru lebih berat dan mendesak untuk diselesaikan. Kasus rekening Gendut dan Mafia Pajak Gayus Tambunan yang diduga menyeret beberapa perwira tinggi justru lebih memalukan dan mencoreng citra Polri sehingga wajib segera dituntaskan.
Tersebarnya video polisi menyanyi itu sesungguhnya tidak perlu serius disikapi oleh karena yang dibutuhkan justru penyaluran hobi dan pembinaan yang tepat, bukan menjatuhkan sanksi yang akan mematikan kreatifitas seninya. Pemberian sanksi kepada prajurit polisi ini juga terkesan diskriminatif karena faktanya banyak juga pejabat negara yang sering bernyanyi dan berjoged ria di hadapan publik tetapi tidak pernah diberi sanksi oleh siapapun juga.
Perlakuan prajurit polisi yang bernyanyi India itu tentu sangat berbeda denganperlakuan terhadap Presiden SBY yang juga memiliki kegemaran bernyanyi dihadapan publik dan sekaligus merekamnya. Ketika SBY bernyanyi maka posisinya sebagai Presiden adalah tetap melekat selama 24 jam dan tidak pernah ada yang berani mempersoalkan, apalagi mengancam akan memberi sanksi.
Itulah fakta diskriminasi yang terjadi, dimana Prajurit Polisi Nyanyi diancam Sanksi, sementara SBY Nyanyi selalu di puji. Perlakuanl ini sangat kontradiktif, karena keduanya menjalankan aktivitas yang sama yaitu menyalurkan hoby “bernyanyi” disela-sela menjalankan tugas negara.
Itulah fakta diskriminasi yang ada di depan mata, dimana sanksi hanya keras diberlakukan kepada yang kecil, lemah dan tak berdaya, sementara kepada sang Boss maka sang pemberi sanksi justru selalu memuji karena tak punya nyali sedikitpun untuk memberi sanksi.
Jika prajurit polisi yang bernyanyi diberi sanksi, maka Presiden SBY seharusnya diberlakukan tidak berbeda. Yang menjadi persoalan, siapakah di negeri ini yang berani mengancam sanksi kepada Presidennya yang suka bernyanyi ?
Inilah simbol diskriminasi keadilan yang nyata dan sedang ada di depan mata kita.
Aly Imron DJ
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar