Kasus Gayus Tambunan hanyalah puncak gunung es yang menyembul di permukaan, sementara bongkahan kasus-kasus bersembunyi di bawahnya belum terungkapkan. Kasus Gayus pun tidak bakal terungkap apabila mantan Kabareskrim Polri Susno Duadji tidak ‘bernyanyi’ merdu. Itu pun Susno harus siap dijerat dengan pasal pencemaran nama baik, meski demi rakyat sikap Susno sebenarnya merupakan ‘pahlawan’. Tetapi, entah bagi para petinggi Polri yang diduga mau memperkaya diri sendiri dengan memanfaatkan jabatannya di korps baju cokelat? Nampaknya, Presiden baru terbelalak dengan kasus-kasus yang melibatkan aparat bawahannya sekarang ini sehingga tidak perlu lagi jualan citra dan sok bersih. Yang penting, berantas korupsi, mafia dan markus tanpa pandang bulu!
Terkuaknya kasus suap pejabat, korupsi uang rakyat dan makelar kasus (markus) di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, menjadi cambuk dan menjewer Menteri Keuangan Sri Mulyani yang selama ini sok reformis dan sok bersih, serta mengklaim paling profesional dibanding instansi/lembaga negara lainnya, sehingga mendapat ‘jatah’ remunerasi duluan, gaji pejabat di jajaran Kementerian Keuangan dinaikkan berlipat ganda dengan harapan tidak akan korupsi lagi. Tapi nyatanya? Jawab sendiri! Bahkan, kabarnya ada dugaan kasus korupsi anggaran pendidikan lebih dari Rp 1,2 triliun yang dilakukan bukan oleh Diknas, melainkan oleh Depkeu (Kementerian Keuangan) yang memberikan dana tersebut kepada 12 universitas menjelang Pemilu lalu.
Katanya, Badan Pengawasan Keuangan (BPK) juga sedang melakukan audit terhadap dugaan kasus korupsi penggunaan dana pendidikan tersebut. Kita tunggu saja hasil audit BPK, asal BPK tahan 'intervensi' dan tidak gentar dikriminalisasi mirip yang baru saja dialami Ketua BPK Hadi Poernomo akibat keberaniannya mengumumkan kebenaran dugaan korupsi dalam skandal aliran dana bailout Bank Century. Kalau terus begini modusnya, tidaklah salah apabila ada tudingan bahwa memang sudah lama para koruptor dipelihara. Buktinya, hingga kini pengusutan dugaan kasus suap mantan Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI dari Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun tidak ditindaklanjuti lagi. Yang lebih konyol, apabila aparat lembaga hukum berpikiran ‘yang penting menyenangkan penguasa’.
Publik jelas tidak simpati terhadap pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa reformasi tidak menjadikan semua pejabat pajak sebagai ‘malaikat’. Padahal, persoalan sekarang bukan soal ‘silat lidah’ itu lagi? Namun, persoalan dan pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kerja pengawasan selama bertahun-tahun di lembaga pimpinan Sri Mulyani itu? Menyangkal dan mencari alasan terus mungkin baru kasus Gayus yang ketahuan. Oleh karena itu, pernyataan Sri Mulyani tidak ubahnya seperti guru yang mengajarkan agar karyawan pajak atau instansi yang di bawahnya melakukan perbuatan tidak ubahnya seperti Gayus, mengingat perilaku ini agar tersupport tak ubahnya supaya terlahir ‘Sri Mulyani – Sri Mulyani’ baru sebagai pahlawan sistemik yang lain yang dapat dengan mudah menyelewengkan UU dan menghalakan kesalahan serta kekeliruan yang pada akhirnya pun perampokan uang rakyat semakin merejalela, yang pada dasarnya mendapat follow-up/support penguasa.
Hal ini mungkin saja terdapat juga di unit Sri Mulyani selain Diektorat Jenderal (Ditjen) Pajak, yakni Ditjen Anggaran, Bea Cukai, Pembinaan BUMN, dan Lembaga Keuangan. Ini tidak ubahnya ibarat guru kencing berdiri yang melahirkan murid-murid kencing berlarian. Yang jelas, pernyataan Sri Mulyani harus menjadi catatan dalam sejarah dimana dalam kurun waktu 13 tahun reformasi yang terakhir jangan hanya menjadi jelamaan “Gendeng Pramoni“ yang rakus harta dan kekuasaan. Namun, bisa juga pernyataan Sri Mulyani untuk mengurangi kerja aparat hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri dan Kejaksaan, serta mengurangi kepadatan tahanan yang dihuni para koruptor di penjara/Lembaga Pemasyarakatan. Konon, mantan Direktur IMF Sri Mulyani adalah 'anak emas' Amerika (AS) dan disayang SBY dimana pidato Presiden beberapa waktu lalu menyatakan Sri Mulyani adalah 'putera terbaik' bangsa sehingga tetap akan dipertahankan di kabinet. Padahal, kasus Gayus bukti indikasi banyak pejabat 'kotor'.
Bagaimana mafia atau makelar kasus hendak diberantas apabila banyak perkara korupsi/suap yang tidak terselesaikan, sementara perilaku pembohongan publik dan kebohongan penguasa terus berjalan. Ingat! tidak ada siapa pun yang bisa menyembunyikan bangkai, terlebih bangkai 10 gajah bengkak. Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Serapi-rapinya menutup bangkai, lambat laun akan tercium pula.
Ingat masih ada yang maha melihat perbuatan ‘curang’ siapa pun penguasa, yakni Yang Maha Kuasa di atas segalanya. Maka dari itu, sebaiknya rezim penguasa bertobatlah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan curang dan kebohongan publik, serta meminta maaf kepada rakyat yang telah ditipu dan dibodohi selama ini. Hiduplah dengan kejujuran dan menjalankan keadilan. Sebab, kecurangan akan selalu menghantui kita sehingga tak bisa tertidur lelap akibat dikejar-kejar dosa. Mendingan tobatlah sekarang ketimbang nanti dipaksa lengser dan jatuh memalukan!
Oleh: Tubagus Januar Soemawinata (universitas Nasional)
www.jakartapress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar