foto: swarasulut.com
Apa yang ada dibenak kita tatkala menyaksikan di layar TV, Amerika bersama konco-konconya memborbardir Libya? Saya yakin jawaban atas pertanyaan ini akan beragam.
Mungkin ada yang katakan bahwa itu wajar, mengingat Khadafi telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan menembaki warga sipil hingga menimbulkan korban sampai 6000-an jiwa. Atau barangkali ada yang berpendapat bahwa itu hukuman buat rezim otoriter yang tidak tahu diri dan lupa berhenti jadi presiden mengingat empuknya kursi kekuasaan. Atau bahkan dikatakan, Amerika itu hanyalah perpanjangan tangan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 1973 tentang No-Fly Zone di atas Libya. Dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB, 11 yang setuju dan 4 abstain (China, Rusia, Brazil, dan Jerman).
Semua bisa berpendapat menurut sudut pandang masing-masing. Tapi ketika kita sedikit membuka mata dan menengok sedikit saja lembaran-lembaran sejarah kelam sepak terjang Amerika Serikat di Timur Tengah, kesimpulan itu jadi berbeda.
Saya termasuk orang yang awalnya benci terhadap Khadafi. Dan saya kira siapapun pasti akan membenci pembantaian seperti yang dilakukan Khadafi. Tapi kebencian itu seketika berubah jadi simpati, ketika Amerika Serikat yang terlegitimasi oleh keputusan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk segera menerapkan zona larangan terbang di Libya.
Resolusi itu lebih dari cukup buat Amerika untuk segera melampiaskan hasratnya menghancurkan Khadafi yang memang tidak disukainya.
Khadafi adalah salah satu kepala negara yang dianggap pembangkang oleh Amerika Serikat. Khadafi tidak pernah mau tunduk dengan keinginan-keinginan Amerika. Bahkan tak jarang, d forum-forum internasional, Khadafi berpidato mengecam berbagai tindakan Amerika yang dianggap salah. Saya yakin Kepala Negara lainpun berpendapat sama dengan Khadafi tentang tingkah Amerika yang seolah-olah menjadi ‘Polisi Dunia’ tapi mereka tidak punya keberanian seperti Khadafi.
Keberanian Khadafi ini, sekarang justru berbuah petaka buat dirinya dan kekuasaannya. Sama seperti keadaan Saddam Husein di Irak yang harus terkapar dihadapan Pasukan Sekutu.
Kembali ke hasrat Amerika, sesungguhnya Amerika sudah terlalu lama memendam hasrat penghancuran itu. Bahkan barangkali dia sampai menggigil karena terlalu lama menunggu saat seperti sekarang ini.
Kasus Irak dan Afganistan, lebih dari sekedar menyadarkan kita bahwa Amerika sesungguhnya adalah teroris. Dia memperalat PBB untuk melakukan invasi. Tindakannya seolah-olah mewakili PBB, padahal kita semua tahu, bahwa ada agenda lain dibalik semua itu.
Apa agendanya? Pertama; adalah terkait memproteksi negara Israel, yang merupakan anak angkatnya. Keberadaan Israel yang ditengah-tengah musuhnya dianggap membahayakan posisi Israel. Oleh karena itu, sebisa mungkin musuh-musuh itu disingkirkan sebelum jadi penyakit. Kedua; apalagi kalau bukan urusan minyak. Salah satu ambisi Amerika adalah penguasaan atas lading minyak. Lihatlah nanti, pasca terkaparnya Khadafi (karena pasti akan terkapar) keadaan akan kacau. Situasi politik tidak akan serta merta membaik. Pada masa transisi itu, Amerika akan menawarkan ‘kebaikannya’ untuk memulihkan keadaan. Kesempatan itulah yang dimanfaatkan untuk menancapkan kuku-kukunya terhadap lading-ladang minyak itu.
Terkait pelanggaran HAM yang dilakukan Khadafi, manakah yang lebih kejam dengan sepak terjang Israel yang membantai rakyat Palestina. Dimana suara PBB? Dimanakah resolusi Dewan Keamanan PBB yang diangung-agungkan?
Kesimpulannya: PBB adalah Amerika-dan Amerika adalah PBB. Apapun yang ingin dilakukan oleh Amerika selalu diamini PBB. Saat ini, Amerika kembali mempertontokan aksi terornya yang memuakkan itu.
Setelah Libya, negara di Timur Tengah, Bersiaplah …. Karena mungkin giliran anda.
Irwan Ali
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar