Rudal dan bom menghujani tanah Libya. Ratusan orang tak bersalah sudah meninggal akibat dari serangan yang dimotori oleh NATO, dan tentunya tidak bisa lepas dari peran serta Negara Pelopor Perang, Amerika Serikat. Puluhan kapan induk dan peralatan perang canggih berlabuh di perairan sekitar Libya dalam melaksanakan misi atas nama mandat dari Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Sebenarnya sudah dipahami bahwa apapun keterlibatan NATO dan Amerika Serikat dalam sebuah percaturan internal sebuah negara, seringkali di luar wewenangnya. Apa yang terjadi di Irak dan Afghanistan menjadi pelajaran berharga, bahwa keterlibatan tentara asing tidak akan menyelesaikan masalah, dan kalaupun masalah itu selesai, akibat lain yang muncul adalah penguasaan terhadap sumber daya alam dan planning pangkalan militer di negara bersangkutan. Seandainya ada pihak yang tidak menyetujuinya, akan disebut sebagai musuh dalam selimut atau “teroris” yang harus dibumihanguskan.
Kekerasan Gadhafi mungkin tidak dapat ditolerir, baik dari sisi kemanusiaan maupun demokrasi, tetapi langkah penyerangan terhadap sebuah negara berdaulat oleh negara asing lebih tidak ditolerir, atas nama apapun, terkecuali sudah ada kegagalan perundingan tingkat tinggi.
Dipandang dari segi kekejaman Gadhafi, apakah sepadan jika dibandingkan dengan kekejaman rezim Israil, serta tentara NATO dan AS sendiri di Irak dan Afghanistan?. Sangat jauh kondisinya. Seharusnya Israil menjadi sasaran pertama dalam mandate Resolusi Dewan Keamanan PBB, sebab apapun alasan dan kondisi di permukaan, Israil lebih kejam dan tidak berperikemanusiaan dibandingkan Gadhafi.
Pemberitaan seakan lumat ketika pembahasan mengenai kekejaman Israil dan NATO. Meja pertimbangan menjadi cenderung dan berbelok untuk memutuskan bahwa Israil dan NATO tidak terlibat dalam kejahatan perang apapun. Inilah ketimpangan yang harusnya disadari oleh masyarakat dunia, bahwa yang lebih membahayakan bagi perdamaian dunia ternyata ada di tubuh Dewan Keamanan PBB sendiri. Mungkin dunia internasional sudah memahaminya, tetapi kondisi psikologis dan semangat lemah diliputi ketakutan melawan sebuah hegemoni Amerika Serikat dan NATO, ternyata lebih besar dengan mengorbankan jutaan rakyat yang tidak berdosa.
Yang lebih menyedihkan adalah apa yang diputuskan oleh Liga Arab, di mana sedikit memberi lampu hijau bagi tentara asing untuk menduduki wilayah Arab, dengan agenda perang yang pasti akan berkepanjangan.
Di tengah percaturan politik timur tengah yang kian carut marut, terutama di Libya, terbit sebuah harapan tumbuhnya masyarakat demokratis di mana rakyatnya bisa menentukan pemimpin dan pemerintahannya sendiri. Tetapi dengan keterlibatan NATO dan AS dalam sejarah perubahan dan reformasi Libya, memberi angin badai yang akan meruntuhkan perdamaian dan proses transformasi tersebut.
Di sadari atau tidak, demokrasi yang akan tumbuh di Libya di suatu saat Gadhafi tumbang, juga akan disebut sebagai ancaman bagi Israil dan sekutunya di forum PBB, sebab dapat dipastikan bahwa reformasi itu justru akan menciptakan daya sentiment anti-Israil, yang ini bagi NATO dan AS akan menjadi sasaran baru dalam agenda perang-perang baru yang dikobarkan Amerika Serikat dan NATO.
Di balik semua persetujuan terhadap serangan ke Libya, berikut ini beberapa pemimpin dunia yang menentang penyerangan ke Libya :
- Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, “Itu resolusi rusak dan cacat”. Menurut Putin, resolusi yang diterapkan Dewan Keamanan PBB, Kamis pekan lalu, itu memungkinkan terjadinya segala hal. “Itu menyerupai panggilan abad pertengahan untuk Perang Salib,” kata Putin.
- Pemerintah China. Koran resmi pemerintah Cina, People’s Daily, jelas-jelas menunjukkan penentangan Beijing atas intervensi Amerika dan sekutunya. Tajuk rencana koran itu menyatakan negara-negara yang mendukung serangan ke Libya melanggar peraturan internasional dan menebarkan gejolak baru di Timur Tengah.
- Pemimpin Kuba, mengutuk keras dua gelombang pengeboman oleh pasukan sekutu itu. Kementerian Luar Negeri Kuba menuduh negara Barat bertanggung jawab atas terciptanya kondisi yang mendukung agresi militer tersebut. “Itu manipulasi bersama atas Piagam PBB dan kewenangan Dewan Keamanan PBB,” kata juru bicara pemerintah Kuba, seperti dikutip kantor berita Cina, Xinhua.
- Pemerintah Jerman juga menentang keras serangan udara ke Libya. Jerman tidak percaya bahwa serangan udara akan berhasil menyelamatkan warga sipil dan melumpuhkan tentara Qadhafi. “Kami menghitung risikonya,” kata Guido Westerwelle mewakili Jerman dalam pertemuan para menteri luar negeri Uni Eropa. Dalam pemungutan suara atas resolusi PBB soal larangan terbang di Libya pekan lalu, Jerman memilih abstain bersama Cina, Rusia, India, dan Brasil. Berbeda dengan Inggris dan Prancis yang aktif menggempur Libya, Jerman memilih bergabung dengan negara Uni Eropa lain yang menginginkan sanksi lebih berat untuk pemerintah Libya. Menurut Jerman, hukuman buat pemerintah Qadhafi lebih baik dijatuhkan melalui sanksi yang lebih luas di bidang ekonomi dan keuangan. Selain itu, semua sanksi harus berfokus pada upaya mengakhiri pemerintahan tiran di Libya yang telah berumur 41 tahun.
- Akhir pekan lalu, Liga Arab pun mempertanyakan aksi pengeboman udara Libya yang bisa membunuh banyak warga sipil itu. Namun pemimpin Liga Arab, Amr Moussa, kemarin mengatakan Liga menghormati resolusi PBB, sepanjang tujuannya untuk melindungi warga sipil. Liga Arab masih member lampu hijau bagi penyerangan ke Libya.
Apapun bentuk dan latar belakangnya, penyerangan oleh tentara asing, termasuk NATO dan AS, ke sebuah Negara berdaulat seperti di Libya, adalah sebuah bentuk penjajahan, dengan apapun alasannya tetap pada kedudukannya sebagai penjajah yang harus diusir dari bumi tanah air.
Muhibbuddin Al Insaniyah
Sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar