"Manunggaling Kawulo Kelawan Gusti" dalam Serat Centhini
WEJANGAN SYEKH AMONGRAGA KEPADA   NIKEN TAMBANGRARAS  (MANUNGGALING KAWULO KELAWAN GUSTI DALAM SERAT CENTHINI)
Oleh Mas Kumitir          Ini  adalah bagian dari Serat Centhini yang membahas tentang tahap-tahap  perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yaitu sebuah kondisi  spiritual saat seseorang mengalami “penyatuan” dengan Dzat-NYA atau  manunggaling kawulo kelawan Gusti. Serat Centhini, kita tahu, adalah  babon serat-serat Jawa yang terdiri dari 12 jilid dan bila dikumpulkan  mencapai 6000 halaman lebih. Semoga pembaca mendapatkan secuil manfaat  dari terjemahan ini. Rahayu. (Mas Kumitir).
Syekh Amongraga memberikan wejangan  kepada istrinya yang bernama  bernama Niken Tambangraras selama 40  hari/malam, baik yang berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana cara  manusia mendapatkan makrifat kepada Tuhan Dzat Yang Maha Besar, maupun  yang berkenaan dengan kehidupan keluarga. Berikut bait-bait yang kamu  dikutip dari Serat Centhini yang  menggambarkan tentang kemanunggalan  antara Tuhan dan manusia :
1.  Yen nuli / winisik basa sempurna / sareng miarsa Ki Bayi /  senggruk-senggruk anangis / tangis cumeplong ing kalbu / manah padang  nerawang / ngraos tuwuk tanpa bukti / pangaraose wus ana sangisor aras.
“Kemudia ia membisikkan kata-kata  sempurna, ketika itu didengar oleh Ki Bayi dia mulai menangis  tersedu-sedu, tetapi ia sekaligus ia merasakan suatu kepuasan batin yang  besar. Batinnya menjadi terang-benderang, ia merasa kenyang tanpa  menyantap sesuatu, ia merasa seolah-olah terangkat ke hadapan tahta  Tuhan.”
2.  Ambalik sami sekala / kramane mring Amongragi / mehmeh kaya ngabekti /  saking tan nyipa kakalih / mung mangsud guru yekti / Ki Bayi aris  turipun / rayi dalem kalihnya / sumangga ing kersa sami / ingkang mugi  wontenan sih wulang tuan.
“Pada saat yang sama sikapnya terhadap  Amongraga berubah sama sekali, ia hampir berbakti kepadanya, karena  sekarang ia hanya memikirkan satu-satunya ini, aku mendapatkan seorang  guru sejati, kemudian dengan suara lembut Ki Bayi berkata, semoga anda  berkenan, agar juga kedua adik anda menerima rahmat ajaran anda.”
3.  Inggih kang basa punika / Mongraga umatur aris / gih putranta sekalihan  / sampun kaula wejangi / ing ratri kala wingi / kalihewus sami suhud /  matur alkamdu lilah / kaula dados wuragil / sakelangkung panrima kula  satitah.
“Yakni kata-kata yang tadi anda  sampaikan, Amongraga mejawab, kedua putra Bapak sudah saya berikan  ajaran itu tadi malam, keduanya sudah maklum akan kebenaran. Syukur  kepada Tuhan, kalau demikian akulah yang bungsu, kata Ki Bayi, saya puas  sekalai dengan urutan ini.”
4.  Amongraga pan wus wikan / ing dalem papanceneki / Ki Bayi lan putranira  / Jayengwesti / beda ganjaraneki / Ki Bayi ganjaranipura / sih kamulyan  ing donya / kang putra ganjaraneki / pan cacalon ganjaran mulyeng  akerat.
“Amongraga tahu, apa yang ditujukan  kepada Ki Bayi dan apa yang dituakan kepada kedua putranya, Jayengwesti  dan Jayengraga. Ganjaran disediakan kemuliaan dunia ini, bagi kedua  anaknya kemuliaan di akhirat.”
5.  Kewawa ngelmi makripat / de Ki Bayi panurteki / kahidayat ngelmu sarak /  Sarengat utameng urip / Mongraga matur aris / paduka ingkang akasud /  tepakur maring Allah / lan tangat kala ning wengi / lawan ngagengena  salat perlu kala.
“Kedua anak itu mampu menerima ngelmu  makrifat, sedangkan kepada Ki Bayi Panurta diberi tuntunan ngelmu sarak  (agama menurut hukum), sehingga ia hidup dengan utama. Kemudian  Amongraga berkata dengan lirih, tekunlah dalam menjalankan dan  lakukanlah olah bakti malam hari, junjunglah sholat yang diwajibkan pada  saat-saat tertentu.”
6. Ywa pegat adarus mulang / ing kitan Kur’an amerdi / ing janma pekir kasihan / Ki Bayi nor raga ajrih / ing wulang Amongragi.
“Daraskanlah (membaca) ayat-ayat  Al-Qur’an, rajinlah dalam mengajarkan Kitab Suci. Berilah sedekah kepada  orang-orang miskin. Ki Bayi merendahkan diri ketika ia menerima ajaran  Amongraga.”
7.  Mongraga denya kasud / sunad wabin nem rekangatipun / tigang salam  sawus ing bakda anuli / tangat kiparat tawajuh / kalih salam bakda  manggon.
“Guna mencapai keadaan ekstasis  Amongraga melakukan sholat sunat wabin dengan enam rekaat dan tiga salam  (pujian), sesudah itu olah kifarat tawajuh (pemulihan dan terarah  kepada Tuhan) dengan dua salam, sesudah itu duduk tidak bergerak.”
8.  Amapanaken junun / pasang wirid isbandiahipun / satariah jalalah barjah  amupid / pratingkahe timpuh wiung / tyas napas kenceng tan dompo.
“Sambil mempersiapkan diri untuk  manunggal dengan Tuhan, ia melakukan wirid menurut (tarekat) Isbandiah,  Satariah, Jalalah, dan Barjah, terserap olehnya, ia duduk bersimpuh  (kakinya terlekuk ke belakang), hati sanubari dan pernapasan dalam  keselarasan.”
9.  Nulya cul dikiripun / lapal la wujuda ilalahu / kang pinusti dat  wajibulwujudi / winih napi isbatipun / pinatut tyas wusa anggatok.
“Kemudian ia mengawali dikirnya dengan  kata-kata, la wujuda ilalahu (tak ada sesuatu selain Allah), Dat yang  niscaya ada, itulah yang menjadi pusat perhatiaannya, dasar penyangkalan  dan pengakuan dan dengan itulah hatinya diselaraskan.
10.  Angguyer kepala nut / ubed ing napi lan isbatipun / derah ing lam kang  akir wit puserneki / tinarik ngeri minduwur / lapal ilaha angengo.
“Kepalanya mulai bergerak memutar,  silih berganti menyangkal dan mengakui, pada lingkaran lam terakhir  kepalanya bergerak dari pusat ke kiri ke atas. Pada ucapan ilalah  kepalanya bergerak.”
11.  Nganan pundak kang luhut / angleresi lapal ila mengguh / penjajahe kang  driya mring napi gaib / ilalah isbat gaibu / ing susu kiwa kang ngisor.
“Ke kanan ke atas ke arah bahunya, pada  saat ia berkata ila inderanya memasuki penyangkalan tersembunyi, ilalah  ialah pengakuan gaib di sebelah kiri dadanya.”
12.  Nakirahe wus brukut / lapal la ilaha ilalahu / winot seket kalimah  senapas nenggih / senapas malih motipun / ilalah tri atus manggon.
“Demikianlah nakirah menjadi paripurna,  kata-kata la ilalahu dirasakannya 50 kali dalam suatu pernapasan,  kemudian 300 kali ilalah pada pernapasan berikut. Istirahat sebentar.”
13.  Anulya lapal hu hu / senapas ladang winotan sewu / pemancade tyas lepas  lantaran dikir / kewala mung wrananipun / muni wus tan ana raos.
“Lalu hu, hu, 1000 kali dalam satu  pernapasan panjang, demikianlah hatinya naik lepas bebas tanpa  rintangan, dengan perantara dikir yang fungsinya hanya sebagai sarana.  Suara-suara yang dikeluarkannya tak ada arti lagi.”
14.  Wus wenang sedayeku / nadyan  a a e e i i u u / sepadane  sadengah-dengan kang uni / unine puniku suwung / sami lawan orong-orong.
“Segalanya diperbolehkan, entah itu aa,  ee, ii atau uu atau lain sebagainya, terserah apa saja. Kemudian  suara-suara itu tiba-tiba lenyap seperti suara seekor orong-orong (yang  tiba-tiba diam seketika).”
15.  Ing sanalika ngriku / coplok ing satu lan rimbagipun / dewe-dewe badan  budine tan tunggil / nis mikrad suhul panakul / badan lir gelodog.
“Pada saat yang sama bata-bata dan  bentuk terlepas, artinya badan dan budi masing-masing berdiri  sendiri-sendiri, ia lenyap dan mi’raj, terlebur dalam Dat Ilahi,  badannya tertinggal bagaikan sebatang glodog.”
16.  Tinilar lagya kalbu / yekti ning napi puniku suwung / komplang nyenyed  jaman ing mutelak haib / wus tan ana darat laut / padang peteng wus  kawios.
“Yang ditinggalkan oleh lebah-lebah,  kosong. Kalbunya merupakan ketiadaan sejati, kosong sepi. Tiada ada lagi  daratan maupun laut, terang dan gelap tiada lagi.”
17.  Pan amung ingkang mojud / wahya jatmika jro ning gaibu / pan ing kono  suhule dinera mupid / tan pae-pinae jumbuh / nora siji nora roro.
“Yang ada hanya indah itulah yang  meliputi yang batiniah dan lahiriah di alam gaib. Di sanalah usaha  Amongraga untuk mencapai kemanunggalan sampai pada titik penghabisan.  Tak ada lagi perbedaan, hanya kesamaan yang sempurna, mereka bukan satu  bukan dua lagi.”
18.  Wus tarki tanajul / mudun sing wahya jatmika ngriku / aningali tan  lawan netranireki / Dat ing Hyang Kang Maha Luhur / patang prekara ing  kono.
“Sesudah tarakki menyusullah tanazzul,  ia turun dari alam lahir dan atin (wahya jatmika), ia memandang lagi  tetapi bukan dengan matanya, Dat Yang Maha Luhur, di sana terdapat empat  hal.”
19.  Sipat jalal gaibu / jamal kamal kahar gaibipun / wusna mijil saking  gaib denyaa mupid / wiwit beda jinisipun / Gusti lan kawula reko.
“Sifat jalal yang gaib, keindahan,  kesempurnaan dan kekuasaan (jamal, kamal dan kahar) yang gaib. Sesudah  keluar dari keadaan gaib mulailah perbedaan dua jenis, yaitu Gusti dan  kawula.”
20.  Dat ing gusti puniku / jalal kamal jamal kahar nengguh / sipat ing  kawula pan akadiati / wahdat wakidiatipun / alam arwah adsam mengko.
“Adapun hahekat Gusti itu ialah jalal,  kamal, jamal adapun sifat-sifat kawula itu ialah ahadiyya, wahda,  wahadiyya, alam arwah, alam ajsam.”
21.  Misal insan kamilu / beda ning gusti lan kauleku / yekti beda ingriku  lawan ingriki / kejaba kang wus linuhung / pramateng kawroh kang wus  wroh.
“Alam misal dan insan kamil. Perbedaan  antara Gusti dan kawula ialah perbedaan antara dua jenis sifat-sifat  itu, kecuali bagi manusia yang istimewa (linuhung) yang sudah mengetahui  ilmu sejati.”
22.  Sawusira aluhut / lir antiga tumiba ing watu / pan kumeprah tyasira  lagyat tan sipi / tumitah ing jamanipun / aral ing kula katonton.
“Sesudah ektasinya lewat, ia menyerupai  sebutir telur yang jatuh di atas sebuah batu, demikian rasa terkejut di  dalam hatinya ketika kembali dalam keadaan makhluk  dan melihat kembali  keterbatasannya selaku seorang hamba (kawula).”
23. Luaran denya suhul / angaringaken senapas landung / mot saklimah La ilaha ilalahi / mulya andodonga sukur.
“Sesudah kemanunggalannya dengan Tuhan  larut, ia bernafas panjang sambil mengucapkan satu kali syahadat, la  ilaha ilalah, kemudian memanjatkan doa syukur.”
24.  Yen wus munggah budimulya / Sang Hyang Mahamulya lan mulya ning budi /  abeda nora neda / pan wus jumbuh sembah lawan puji / puji amuji ing  dawakira / iya dewe nora dewe / tanpa dewe pupus.
“Bila budi sudah naik ke tempat yang  mulia, maka dalam keadaan mulia itu Yang Mahamulia dan budi berbeda dan  tidak berbeda. Sembah dan pujian menjadi serupa. Pujian merupakan pujian  terhadap dirinya. Manusia sendiri yang mengalami itu, tetapi juga bukan  diri sendiri. Tiada lagi dirinya, hanya itulah yang dapat dikatakan.”
25. Bakda dikir anuli / adonga sukur Hyang Agung / sawusira dodonga / asujud sumungkem siti / takrub asru tepekurira nelangsa.
“Sesudah dikir ia memanjatkan doa  syukur kepada Yang Agung, sesudah itu ia bersujud, merebahkan diri ke  tanah, dan mendekati Tuhan dengan merasakan kerendahannya.”
26. Rumasa kinarya titah / beda ning kawula gusti / lir lebu kelawan mega / bantala lawan wiati.
“Ia menyadari bahwa dia hanya buah  ciptaan dan bahwa antara kawula dan Gusti ada perbedaan, seperti antara  debu (di tanah) dan awan, atau seperti antara bumi dan ruang angkasa.”
Dari beberapa bait (pada dalam bhs  Jawa) yang ada dalam Serat Centhini ini, dapat memberikan suatu gambaran  bahwa Tuhan dan manusia tidak sama, karena manusia adalah ciptaan  Tuhan. Namun manusia bisa mencontoh sifat-sifat Tuhan dan mengingatnya  dengan memperbanyak dikir sehingga dapat mengalami kondisi ekstasis,  yakni kemanunggalan dengan Dzat Mutlak Tuhan.
Sumber: alangalangkumitir 
 
 
 
          
      
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar