Dalam beberapa pekan terakhir, salah satu berita yang menghiasi media Indonesia adalah berita mengenai perpindahan politisi dari sebuah partai ke partai lain. Cenderung perpindahan terjadi dari partai yang lebih kecil ke partai yang besar, atau dalam bahasa politisnya : dari partai yang sedikit suaranya ke partai yang memiliki kesempatan lebih besar untuk memenangi sebuah pemilihan kepala pemerintah.
Fenomena ini seakan menjadi trend tersendiri bagi seorang Kepala Daerah untuk mempertahankan kekuasaan dan mematiskan diri dapat menjadi Kepala Daerah di periode selanjutnya, dan bagi seorang yang berniat menjadi Kepala Daerah tetapi saat ini masih bercokol di sebuah partai yang memiliki suara sedikit disebuah daerah.
Apakah ada yang salah dengan fenomena politisi kutu loncat ?
Bila dilihat dari strategi politik yang pragmatis dan opurtunis, perpindahan seorang kader partai ke partai lain adalah hal yang lumrah, dan diperbolehkan. Namun apakah wajar dan beretika ? ini yang tentu menjadi sebuah sorotan bagi publik tentang kepindahan politisi ke partai lain.
Kutu loncat ini memberikan beberapa dampak bagi partai yang ditinggalkan antara lain; (1) kehilangan seorang kader yang telah dibesarkan dan diberikan berbagai kesempatan untuk menduduki sebuah jabatan ; (2) dipertanyakannya pola kaderisasi partai hingga ada seorang kadernya yang "berkhianat" dan tidak menjiwai idealisme partai sehingga dengan mudah pindah partai.
Adapun dampak bagi partai baru seorang kutu loncat adalah ; (1) rusaknya sistem kaderisasi partai, karena seorang bisa menduduki sebuah posisi tanpa melewati jenjang kaderisasi yang ada ; (2) kecemburuan politik terhadap kader yang telah lama membesarkan partai ; (3) mendapatkan amunisi tokoh baru untuk melancarkan pemenangan Kepala Daerah.
Pengamat politik di Indonesia mengatakan bahwa fenomena kutu loncat adalah sebuah fenomena simbiosis mutualisme. Sebuah fenomena yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak. Akan tetapi, menjadi sebuah pertanyaan besar, akan seperti apa sebuah daerah, bila seorang kutu loncat yang memimpin daerah tersebut?
Dengan asumsi bahwa seorang akan memimpin sesuai dengan karakter yang ia miliki, maka setidaknya ada empat hal yang mungkin terjadi pada sebuah daerah bila seorang kutu loncat yang memimpin.
1. Miskin Ideologi. Tak bisa di pungkiri bahwa ideologi adalah landasan berpikir, bertindak, memandang dan memutuskan dari seorang pribadi. Bila seseorang tidak memiliki ideologi, akan sangat mudah baginya untuk digoyang atau tidak konsisten akan kebijakannya.
Seorang yang tidak memiliki landasan memimpin yang kuat akan tidak memiliki arah yang jelas dalam kepemimpinannya. Ibarat seorang nakhoda kapal, ideologi adalah peta dan kompas.
Sebuah daerah yang dipimpin oleh seorang yang tidak memiliki ideologi mengalami sebuah diskonsistensi arah pembangunan. Sehingga daerah tersebut dijalankan tanpa adanya roadmap yang jelas. Sangat mudah bagi seorang pemimpin yang tidak memiliki ideologi untuk dipengaruhi oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab, termasuk pihak asing.
Seorang pengamat pernah mengatakan bahwa ideologi yang dipegang oleh seorang kutu loncat adalah "orientasi kekuasaan", sehingga bisa di prediksikan bahwa skema pembangunan pencitraan akan menjadi ujung tombak pembangunan.
2. Tidak menghargai proses. Indikasi dari seorang kutu loncat adalah tidak menghargainya sebuah proses, termasuk didalamnya proses kaderisasi, atau jika di transformasikan dalam bahasa pembangunan maka terminologi yang paling tepat adalah tidak menghargai proses pembangunan dari bawah (bahasa : rakyat).
Bila merujuk pada semangat pembangunan Pancasila yang berpihak kepada rakyat, seorang kutu loncat kemungkinan tidak menghargai proses perjuangan rakyat membangun usaha dari kecil hingga mapan.
Orientasi pada mempertahankan kekuasaan dapat mendorong seorang kutu loncat untuk lebih memilih bekerjasama dengan pihak investor asing untuk mendapatkan hasil pembangunan secara cepat.
3. Mudah Berkhianat. Seorang di beri gelar kutu loncat bila ia sudah dibesarkan oleh sebuah partai, diberikan berbagai fasilitas dan bahkan jabatan strategis, namun ia memilih meninggalkan partainya atau berkhianat dari partainya untuk mencapai sebuah tangga keberhasilan yang lebih tinggi.
Menurut orang bijak, tidak ada yang lebih penting dalam dunia politik selain dari INTEGRITAS. Sebuah kata yang menggambarkan keloyalan dan kesetiaan, serta kejujuran dan keberanian seorang politisi. Seorang kutu loncat yang begitu mudahnya berkhianat dari sebuah keluarga (baca: partai) yang telah membesarkannya adalah sebuah indikasi ia tidak memiliki INTEGRITAS.
Sederhana saja hipotesa yang terbentuk, "apabila partai politik yang membesarkanya saja dengan mudah ia khianati, apalagi rakyat? bisa jadi ia akan lebih dengan mudah mengkhianati amanah rakyat".
Sebagai seorang warga negara saya akan sangat khawatir bila negara atau sebuah daerah di pimpin oleh seorang kutu loncat. Seorang yang hanya mengedepankan kekuasaan dan meninggalkan intergritas, proses, dan idealismenya.
Mengutip lirik lagu sebuah band nasional, "MAU DI BAWA KEMANA NEGERI INI BILA DIPIMPIN KUTU LONCAT?"
Ridwansyah Yusuf Achmad
Direktur Institut of Nation Sovereignty. Presiden KM ITB 2009-2010/BEM Seluruh Indonesia 2009
www.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar