Jumat, 11 Maret 2011
Mewaspadai Bahaya Laten Demokrasi Kolusif
Selama tahun 2011 ini Presiden SBY beserta konco-konconya sedang mempertontonkan
kepada rakyatnya sendiri sebuah dagelan politik yang sama sekali tidak lucu. Yang ada malah kita dibuat pusing. Sehingga wajar jika ada yang berkesimpulan bahwa semua teori politik, baik lama mau pun kontemporer, seolah-olah tidak bisa membenahi realitas perpolitikan kita. Sedemikian parahnyakah?
Idealita Politik & Partai Politik
Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Ia juga seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles), hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan Negara, merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat, segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sedangkan partai politik merupakan organisasi politik yang menjalani ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan khusus. Definisi lainnya adalah kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik -(biasanya) dengan cara konstitusionil- untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Budiarjo, 1989; 159).
Partai politik sebagai sebuah instrumen politik memiliki sedikitnya tujuh macam fungsi. Pertama, melakukan sosialisasi politik, pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Kedua, rekrutmen politik yaitu seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik. Ketiga, partisipasi politik, kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Keempat, pemandu kepentingan, mengatur lalu lintas kepentingan yang seringkali bertentangan dan memiliki orientasi keuntungan sebanyak-banyaknya.
Lima, komunikasi politik, partai politik melakukan proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Enam, pengendalian konflik, partai politik melakukan pengendalian konflik mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antar individu atau kelompok. Tujuh, Kontrol politik, partai politik melakukan kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi kebijakan atau pelaksaan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Demokrasi Kolusif
Jika realita perpolitikan saat ini dikomparasikan dengan gambaran ideal di atas, maka yang terlihat adalah berbanding terbalik antara kata dan laku. Hanya janji-janji semu. Dan, parahnya lagi, sepertinya tidak ada beda signifikan antara partai berbasis islam maupun sekuler. Kesan yang dominan tertampilkan kepada publik adalah bahwa mereka yang telah duduk di "kursi panas" itu ibarat lupa kacang pada kulitnya, habis manis sepah dibuang, dan seterusnya.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Hemat penulis, hal itu disebabkan oleh karena masuknya mereka ke dalam lingkaran system -baik ekskutif maupun legislatif dalam semua levelnya- menggunakan biaya politik yang tidak sedikit. Politik uang, politik dagang sapi, politik transaksional adalah beberapa istilah yang menggambarkannya.
Menurut Azyumardi Azra (Republika, 11/10/2010), istilah demokrasi kolusif (collusive democracy) merupakan terminologi baru dalam ensiklopedi demokrasi. Istilah ini dipopulerkan majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation dalam laporan "From Reformasi to Institutional Transformation: A Strategic Assessment of Indonesia's Prospect for Growth, Equity and Democratic Governance" (24 April 2010). Istilah ini sebelumnya digunakan Dan Slater, "Indonesia's Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition."
Apa yang dimaksud dengan demokrasi kolusif? Istilah ini dipinjam The Economist untuk menggambarkan perkembangan demokrasi Indonesia dan pemerintahan Presiden SBY sejak pasca-Pemilu dan Pilpres 2009. Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik Presiden SBY yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus dari pada kompetisi politik secara fair.
Demokrasi kolusif terlihat jelas dalam pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati dalam kabinet, ketiadaan parpol oposisi (yang efektif) di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hasilnya, aliansi-aliansi politik itu sangat tidak stabil karena parpol-parpol terus membentuk aliansi, meningggalkan aliansi, dan membuat aliansi baru berdasarkan pertimbangan jangka pendek yang nyaris kosong dari komitmen ideologis dan kepentingan konstituen mereka.
Dengan demikian, demokrasi kolusif dalam pengertian tertentu dapat termasuk ke dalam salah satu bentuk KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), yang secara hukum sudah terlarang di Indonesia sejak masa pasca-Soeharto. Memang, secara konvensional, istilah kolusi lebih terkait dengan 'persekutuan gelap' yang merugikan keuangan dan aset negara dan publik.
Namun, demokrasi kolusif juga jelas merugikan pertumbuhan demokrasi dan kepentingan publik karena politik sebagian besarnya tetap merupakan 'kolusi' di antara elite politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Pada tingkat lokal, demokrasi kolusif menghasilkan oligarki elite politik dan partai, yang hampir tidak memberikan ruang bagi partisipasi politik rakyat secara signifikan dan efektif guna perbaikan kehidupan mereka. Sebaliknya, rakyat hanya diperlukan untuk mencapai agenda politik kolusif di antara para elite politik. Kepentingan rakyat hanya menjadi lips-service dan simbolik belaka.
Politik demokrasi kolusif yang bergabung dengan oligarki ekonomi mengakibatkan tetap bertahannya banyak hambatan terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi; membuat tidak berfungsinya sistem dan penegakan hukum; berlanjutnya politik patrimonial; melucuti keberdayaan warga yang menimbulkan kemerosotan rasa kebangsaan. Politik demokrasi kolusif dan oligarki ekonomi membuat Indonesia tidak memiliki alat dan kemampuan memadai untuk menghadapi tantangan globalisasi.
Karena itulah, laporan majalah The Economist yang bertajuk "SBY's Feet of Clay" -jejak kaki SBY yang berlumpur -bernada tidak menggembirakan. Dalam pandangan The Economist, meski SBY menang besar dalam Pilpres 2009, pada tahun pertama periode kedua pemerintahannya tidak seperti yang diharapkan: tampil sebagai pemenang yang tegas dan desisif. Tetapi, realitas yang ada selama setahun sangat jelas. Kinerja Indonesia sangat rendah (underperforming); banyak indikator pembangunannya sangat jelek. Dalam hal GDP, Indonesia jauh lebih kaya dibanding Vietnam misalnya; tetapi seorang ibu Indonesia tiga kali lebih mungkin meninggal ketika melahirkan dibandingkan seorang ibu Vietnam.
Hasilnya, seperti disimpulkan Strategic Assessment' Harvard Kennedy School, Indonesia semakin kehilangan pijakan dibandingkan negara-negara tetangganya, khususnya Cina, India, Thailand, Malaysia, dan bahkan Vietnam dan Filipina dalam investasi asing langsung, industri manufaktur, infrastruktur, dan pendidikan. Meski ekonomi Indonesia tetap tumbuh antara 5,5 - 6 persen dalam dua tahun terakhir, negara ini kian tidak kompetitif.
Harapan Politik Anak Negeri
Lantas, seperti bagaimana sesungguhnya demokrasi dan perpolitikan yang diharapkan? Ikrar Nusa Bhakti menjawab, kita tidak ingin politik dipengaruhi orang yang tampak dari luar amat santun, demokratis, dan sederhana (humble), tetapi sebenarnya ia adalah orang yang bengis, tidak demokratis dan amat Machiavelis.
Orang macam ini sangat menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan politiknya. Juga tidak ingin politik dikuasai oleh orang yang sangat kasar, tidak santun, dan sering menggunakan kata-kata kotor dalam sidang-sidang parlemen karena sudah pasti orang ini amat kerdil dan bukan politisi yang matang walaupun jam terbangnya sebagai politisi
sudah sangat lama.
Yang diinginkan adalah politisi yang tahu kapan harus bersuara lembut, kapan harus bersuara lantang, tapi tetap teguh membela kepentingan rakyat. Tipe ketiga ini yang dapat membangun kultur politik yang baik di masa depan. Karena sesunguhnya demokrasi kolusif dan politik transaksional sebagai turunannya adalah jauh lebih berbahaya dari bahaya laten komunis sekali pun. Waspadalah!
Ahmad Arif
adalah peminat Kajian SOSEKPOLAG, juga kontributor situs asyeh.com Arab Saudi. Berdomisili di Banda Aceh sejak hari ketiga pasca tsunami.
Sumber: detiknews.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar