Kenaikan anggaran pendidikan  secara signifikan sejak 2005 ternyata tak  membuat biaya pendidikan menurun.  Dalam APBN-P 2010, pemerintah  menaikkan anggaran pendidikan Rp 11,9 triliun dari  Rp 209,5 triliun  menjadi Rp 221,4 triliun, tetapi biaya pendidikan terus  meningkat,  akibat belanja pendidikan yang tidak tepat sasaran. Kenaikan  terebut merupakan amanat UUD 1945, yang mensyaratkan  anggar- an pendidikan  minimal 20 persen dari APBN. Ironisnya lagi,  kualitas pendidikan juga belum  beranjak naik.
Berdasarkan data BPS, kenaikan biaya pendidikan pada Juli  2009 dibanding tahun 2000 mencapai 227 persen.
Pada 2000, indeks harga biaya  pendidikan berada di level 100,  sedangkan pada 2009 mencapai 327. Kenaikan itu  berada jauh di atas  kenaikan harga secara umum yang mencapai 115 persen dan  kenaikan harga  pangan sebesar 122 persen.
Menurut ekonom dari Institute for   Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, meningkatnya  indeks  harga biaya pendidikan di tengah terus bertambahnya anggaran  pendidikan yang  disediakan APBN, disebabkan alokasi anggaran pendidikan  itu yang tidak tepat  sasaran. Akibatnya, tidak mampu mengurangi biaya  pendidikan yang harus  dikeluarkan masyarakat.
“Dampaknya tentu ke inflasi. Jadi unsur pemerataan  dari alokasi  anggaran pendidikan kurang memperhatikan kegiatan usaha ekonomi,”   jelasnya di Jakarta.
Anggaran pendidikan yang tahun ini  mencapai Rp 221,4 triliun  tersebut, menurut Aviliani, belum sejalan dengan  penyusunan kebutuhan  program pendidikan. “Pemerintah bingung untuk menyalurkan  dana  tersebut. Kebijakan menjadi tidak terarah,” ujarnya.
Hal senada  diungkapkan ekonom Anton H Gunawan. Alokasi anggaran  pendidikan belum menyentuh  sektor yang mampu meredam belanja pendidikan  masyarakat.
Setiap tahun ajaran  baru, terjadi kenaikan laju inflasi yang cukup signifikan, khususnya disumbang  sektor pendidikan.
Terkait hal itu, pakar pendidikan Utomo Dananjaya  menuturkan  pemerintah selama ini mendiskriminasi siswa dan mahasiswa dengan   melaksanakan sistem pendidikan berstandar internasional dan menerapkan  UU Badan  Hukum Pendidikan (BHP).
Pasalnya, sekolah berstandar internasional memungut  uang pangkal  hingga puluhan juta rupiah dan biaya masuk perguruan tinggi negeri   (PTN) juga semakin mahal. Mahalnya biaya pendidikan, antara lain membuat  hanya  14 persen siswa yang bisa melanjutkan kuliah ke pendidikan  tinggi.
“Pemerintah berdagang sekolah di negerinya sendiri dengan mengesahkan   sekolah memungut biaya pendidikan. Di sekolah negeri, ada yang  memungut sampai  Rp 21 juta,” katanya kepada SP di Jakarta, Jumat  (12/3).
Meskipun total  anggaran pendidikan dalam APBNP mencapai Rp 221,4  triliun, tetapi hanya sekitar  Rp 60 triliun yang dialokasikan untuk  program pendidikan. Sebagian besar  anggaran digunakan untuk membayar  gaji serta tunjangan guru dan dosen.  Pendistribusian anggaran  pendidikan pun dinilai belum adil.
Tahun lalu,  pemerintah menambah anggaran untuk sekolah berstandar  internasional Rp 300 juta.  Padahal, sumbangannya untuk meningkatkan  pendidikan nasional sangat minim.
“Sekolah berstandar internasional sudah memungut biaya mahalk, malah  dikasih  tambahan dana. Akibatnya, terjadi ketimpangan kualitas  pendidikan antara sekolah  berstandar internasional dengan sekolah  biasa,” katanya.
Privatisasi  Pendidikan
Sedangkan, pengamat pendidikan dari Majelis Luhur Taman Siswa,   Darmaningtyas, menyatakan, mahalnya biaya pendidikan tak terlepas dari  peraturan  perundangan yang memungkinkan privatisasi pendidikan. Sekolah  dan perguruan  tinggi negeri mematok biaya pendidikan yang semakin  mahal.
“Makin mahalnya  biaya pendidikan bukan hanya asumsi, melainkan sudah terbukti secara empiris,”  katanya.
Biaya yang semakin mahal, lanjutnya, membuat pendidikan hanya bisa   diakses kalangan menengah ke atas. Banyak siswa dan mahasiswa dari  keluarga  kurang mampu tak bisa melanjutkan pendidikan karena ketiadaan  biaya.
Lebih  jauh dikatakan, kenaikan anggaran pendidikan dari tahun ke  tahun ternyata tak  semuanya mengalir untuk pembangunan pendidikan  secara riil. Sebagian anggaran  didistibusikan ke departemen lain dan  juga ke daerah-daerah.
“Jumlah guru  dan dosen yang lulus verifikasi bertambah terus,  otomatis tunjangan profesi ikut  bertambah. Setidaknya, 25% anggaran  pendidikan hanya untuk pemberian tunjangan  pendidikan, sehingga  anggaran yang jatuh untuk pendidikan langsung tidak sebesar  yang  dikira,” katanya.
Anggaran pendidikan, kata Darmaningtyas, seharusnya  difokuskan pada  peningkatan fasilitas sekolah untuk meningkatkan akses  masyarakat ke  sekolah. Selain itu, anggaran yang ditransfer ke daerah juga harus   disesuaikan dengan kebutuhan. “Biaya-biaya di Indonesia timur lebih  mahal  dibanding dengan Pulau Jawa sehingga tidak relevan bila biaya  pendidikan di  setiap daerah sama,” katanya.
Mengeruk Keuntungan
Senada dengannya,  Koordinator Divisi Monitoring dan Pelayanan Publik  Indonesia Corruption Watch  (ICW), Ade Irawan pun menyatakan, biaya  pendidikan tetap mahal meskipun anggaran  pendidikan terus naik.
Kebijakan pendidikan nasional cenderung memberi  peluang kepada kalangan  menengah ke atas untuk mengeruk keuntungan, tetapi  mengabaikan  kepentingan dan hak orang-orang miskin.
“Kenyataannya,  sekolah-sekolah bermutu, unggul, favorit, dan kelas  ‘akselerasi’ dihuni  anak-anak dari keluarga kaya yang mampu  berinvestasi secara ekonomi. Nyaris  tidak ada akses bagi anak-anak  keluarga miskin,” katanya.
Sedangkan, pakar  pendidikan dari Universitas Katolik Indonesia Atma  Jaya Jakarta, Marcellino  menyatakan, anggaran yang besar di bidang  pendidikan belum diimbangi dengan  kinerja Kementerian Pendidikan  Nasional (Kemdiknas) yang optimal. Akibatnya,  masih banyak persoalan  yang membelit sistem pendidikan nasional.
Survei dan  kajian tentang mutu pendidikan secara nasional, merata,  berkala, dan mendalam,  belum pernah dilakukan secara terencana,  sistematis, dan berkala. Akibatnya,  sampai kini belum ada umpan balik  tertulis yang komprehensif dari pemerintah  atas proses dan mutu  pendidikan nasional yang dapat dipakai sebagai pegangan  dalam  menentukan kebijakan fundamental.
Sudah sepantasnya pemerintah  meninjau kembali hasil kebijakannya,  karena semua belum ditopang data pendidikan  yang akurat dan  komprehensif. “Sebenarnya kebijakan pemerintah pemerintah telah   pro-rakyat, terutama rakyat kurang mampu. Persoalannya menjadi lain  ketika  program itu dimasukkan ke dalam ranah politik. Pendidikan gratis  kini ditagih  rakyat, sementara biaya yang dibutuhkan sangat besar.  Akibatnya, pungutan masih  saja terjadi,” katanya.
Sumber: Suara Pembaharuan
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar