Sabtu, 23 Oktober 2010

DPR: Kumpulan Manusia Tanpa Titik


Cogito ergo sum". Yang artinya kira-kira: karena saya berfikir maka saya hadir. Descartes menerjemahkan akal-budinya yang ideal itu kurang lebih empat abad yang lalu. Apa yang bisa ditangkap?

Bahwa hakikat dan eksistensi manusia, jika keberadaannya hendak diperhitungkan, maka ia pun harus menghitung kehadiran dan kehidupan, untuk apa semuanya? Jika ditarik lebih luas, Descartes bercerita mengenai dirinya dan untuk dirinya, "cogito ergo sum" menjadi semacam pertanggungjawaban dalam ranah privasi maupun relasi sosial. Maka, pada mulanya jika ingin membentuk kebeningan sikap dan cita adiluhung itu, mesti diawali dengan penanaman dan penguatan nilai-nilai privasi tadi.

Sangat jauh rentang yang terjadi antara masanya Descartes dengan komunitas politik di negeri ini, kini. Karena, sesungguhnya, ucapannya yang bermoral dan kuat asa tersebut begitu paradoks dengan bangunan realitas kini, di mana "karena saya berfikir maka saya hadir" diubah menjadi "karena saya malas berfikir maka saya mangkir (bolos)".

DPR yang seyogyanya menjadi naungan aspirasi masyarakat yang diwakilinya, tega malah menjadi "satron" dan bahkan benalu kehidupan masyarakat. Jika tidak setuju, maka jelaskan mengapa begitu banyak proyek DPR yang harganya fantastis, yang penulis yakini sulit sekali menemukan urgensitas yang valid dan realibel terhadap moda kepentingan rakyatnya?

Mengenai studi banding misalnya "pasca lepasnya proyek dana aspirasi, rumah aspirasi, gedung baru" dijelaskan bahwa itu semua merupakan amanat konstitusi, di mana dewan mesti produktif dan berkualitas dalam merancang sebuah undang-undang. Oleh karenanya, perlu diadakan semacam "pengkarungan" referensi dari berbagai negara yang telah melaksanakan undang-undang yang hendak dirancang, disusun dan disahkan oleh DPR.

Untuk itu, makanya dalam rentang 2005 - 2010, anggaran biaya melancong ke luar negeri atau bahasa kerennya "studi banding" naik tujuh kali lipat dari 23,55 miliar menjadi 162,94 miliar.

Permasalahannya tentu bukan pada sebanyak-banyaknya mengumpulkan referensi untuk membuat undang-undang yang berkualitas; dengan studi pustaka, lewat internet, dan tentu studi banding, melainkan cara dan mekanisme studi banding yang terkesan bagi-bagi jatah pelesiran saja.

Bisa dijamin, dari puluhan anggota dewan yang pergi studi banding, paling hanya setengah atau sepertiganya saja yang benar-benar menjalankan amanat sebagai wakil rakyat. Selebihnya, tak lebih dari menambah koleksi foto pribadi, mencari oleh-oleh dari negara tujuan, menikmati fasilitas gratis sebagai anggota dewan.

Jika demikian, sulit studi banding DPR benar-benar pure untuk kepentingan penyusunan sebuah undang-undang. Terlebih kontraproduktif akan semakin terjadi tatkala apatisme publik dibalas dengan jurus semakin menjadi-jadinya fenomena dewan ingkar terhadap janji-janji saat kampanyenya. Parade bolos-membolos DPR, yang meski disorot berbagai media secara masif namun masih saja dilakukan menjadi cermin kuat bahwa kepekaan dan logika merasa dan mendengar DPR sudah kian parah.


Tercebur dalam Hegemoni


Sikap DPR tersebut tak lebih merupakan pantulan dari tiga hal; pertama, DPR terlalu kepedean menganggap publik yang diwakilinya amnesia. Gampang lupa terhadap apa yang dijanjikannya ketika kampanye. Apalagi jika tidak dituangkan dalam kontrak politik.

Anggapan seperti itulah yang membuat anggota DPR demikian semakin larut dalam hegemoni, baik politis maupun ekonomi. Makanya tak mengherankan jika gaya dan logat dewan seperti orang yang, meminjam satire yang sering diungkap dai kondang KH Zainuddin MZ, hendak berbuka puasa. Makan selahap-lahapnya hingga ia lupa terhadap yang memberi makanan tersebut. Bahkan, ia lupa terhadap perintah sunnati yang penting: shalat tarawih.

Anggota DPR, yang ketika dilantik diniatkan untuk "berbuka puasa" maka jangan pangling jika ia telah menjadi manusia rakus, hedonis, pelupa, dan maruk.

Kedua, tak adanya pengawasan terhadap DPR secara formal menjadikan kelakukan naif, ironis, sporadis, dan sadis anggota dewan semakin terkukuhkan dan eksis. Dalam sebuah artikel, penulis sempat menulis dan mengingatkan bahwa "lembaga pengawasan informal" dengan sendirinya telah terbentuk, meski secara virtual.

Meski demikian, aksi-reaksi walau dalam tataran maya-nyata semakin diafirmasi oleh masifnya gelembung opini di jagat virtual, dan semakin "menyata" dan bersentuhan dengan "makhluk" yang diawasinya (DPR). Yakni, Dewan Perwakilan facebooker's (DPR online) yang bisa kapan saja dan di mana saja mengawasi, mengkritik, bahkan menghakimi DPR nyata. Meski "keputusan" (seperti sejuta dukungan untuk Prita, sejuta dukungan untuk Bibit-Chandra, bahkan sejuta dukungan untuk Ariel-Luna, dan seterusnya) yang diambil sebagai respons atas ulah DPR yang dianggap telah mengeluarkan keputusan yang tidak pro-rakyat, meski tidak memiliki legitimasi hukum-materiil yang kuat, namun memiliki vonis sosial-moral yang "mengikat".

Ketiga, anggapan mumpung menjadi anggota dewan semakin mengafirmasi keserakahan dan sedikit arogan para wakil rakyat. Serakah kenapa? Betapa tidak, di saat jutaan warga miskin tengah megap-megap mencari nafkah sehari-hari, meregang nyawa hanya demi puluhan atau ratusan ribu rupiah, atau rela menjadi babu di negeri orang yang diperkosa dan diinjak-injak harga diri dan bangsanya, para elite DPR malah sibuk dengan wacana yang sama sekali tidak ada di benak rakyat, dana aspirasi, rumah aspirasi, gedung baru, renovasi rumah dinas, kenaikan gaji, kenaikan anggaran kunjungan kerja (kungker).

Itu semua disebabkan karena semata-mata "mumpung" tadi. Mumpung jadi anggota dewan, karena siapa tahu sebentar lagi ditangkap KPK, di-PAW-kan, tidak terpilih lagi, dan seterusnya. Ketiga hal itulah yang semakin membuat anggota dewan kita semakin tercebur dalam hedonisme sesaatnya.


 Kumpulan Manusia Tanpa Titik

Tanpa titik berarti koma, koma, dan koma. Tanpa penyelesaian dan akhir. Tanpa titik ibarat hujan yang tak pernah berhenti menitik di bumi. Itulah anggota dewan, yang kaya dengan ide kontroversial namun miskin pengayaan dan rasa.

Pemunculan ide semisal dana aspirasi, rumah aspirasi, renovasi rumah, pembangunan gedung baru, deretan tunjangan dan fasilitas yang berbaris hanya oleh koma nyaris tanpa titik. Hingga kenaikan biaya kunjungan kerja yang besar, menjadikan DPR tak lebih dari kumpulan manusia tanpa titik.

Koma dalam terminologi ini menjadi semacam deret jumlah. Stereotip berbagai fasilitas dan keenakan lain yang diterima DPR, dan hingga kapan akan diakhiri dengan titik (tanda koma berakhir) siapa pun tak ada yang mengetahuinya.

Jika sekarang ada dana aspirasi, rumah aspirasi, dst, dst, mungkin lima atau sepuluh tahun kemudian akan ada "haji aspirasi" = untuk anggota dewan yang hendak berhaji dangan uang rakyat, "spa aspirasi" = untuk anggota dewan yang ingin ber-spa-spa ria karena pegel setelah mangkir sidang, "hotel aspirasi", "pesawat aspirasi" dan "aspirasi-aspirasi" lainnya karena seyogyanya "titik" yang merupakan pengerem hasrat aspirasi anggota dewan telah absen untuk waktu yang tak ditentukan.

DPR, tolong hentikan menjadi kumpulan manusia tanpa titik, sekarang!

oleh :  Ecep Heryadi

(Analis Politik UIN Jakarta, Intelektual Muda Muhammadiyah, tinggal di Jalan Nusantara Raya No 113 Depok) 
www.harian-global.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails