Multidimensi krisis ini berwajah banyak, mulai dari kelangkaan pangan dan mahalnya harga kebutuhan pokok, rendahnya daya beli masyarakat, hingga krisis moralitas sejumlah pejabat publik. Maraknya penangkapan dan penahanan tersangka koruptor, pejabat tinggi negara sampai anggota DPR, jaksa, Gubernur Bank Indonesia, wakil bupati, dan pejabat publik, mengakibatkan erosi kepercayaan bagi konstituen dan masyarakat.
Dari ukuran statistik, jumlah orang yang ditangkap dan kasus yang ditangani sejatinya tidak sebanding dengan jumlah orang baik dan jujur yang masih dapat dipercayai di negeri ini. Persoalannya, tidak terletak pada disparitas statistik antara mereka yang benar dan mereka yang salah, antara mereka yang menjunjung hak-hak masyarakat dan mereka yang bermental korup. Tetapi, pertanyaan yang mesti dijawab, yakni "mengapa" semua praktik melecehkan hukum terus merajalela, tatkala pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga keagamaan melansir kekuatan untuk memberangus KKN.
Kelompok ekonom berpendapat bahwa jaminan hidup yang kurang adalah persemaian yang subur untuk melakukan korupsi. Para pakar hukum mencari akar permasalahan pada lemahnya penegakan hukum, berseberangan dengan konsep hidup "sejahtera", pengusung konsep moral, dan sinikal terhadap argumentasi yang mencari benih korupsi atau krisis pada aspek ekonomi dan hukum semata.
Kebijakan Negara
Sudah lama gagasan-gagasan itu dicoba disandingkan bersama, dan dirajut secara komprehensif dalam bingkai kebijakan negara. Konkretnya, gaji para penentu kebijakan di sektor-sektor unggulan dinaikkan lebih tinggi dari PNS untuk meredam perbuatan melawan hukum, seperti korupsi. Tapi, juga tetap tidak dapat menghalau perilaku menyimpang.
Dua gejala menyedihkan terjadi kini, yakni meroketnya angka kemiskinan dan korupsi. Akankah negeri berlimpah lahan subur ini terus-menerus diterpa kelaparan dan degradasi moral? Terhadap realitas empirik dan silang sengketa konseptual tentang mengapa bencana berkelanjutan mendera Indonesia sedikit uraian dapat dikedepankan di sini.
Menerka berbagai sebab mengapa krisis mendera negeri ini bagaikan membalik telapak tangan, tetapi mengambil langkah tepat dan tegas laksana menebak dalamnya gunung es. Sejumlah kebijakan pemerintah sudah dikeluarkan di sektor pemberantasan kemiskinan, tata ruang, lingkungan, korupsi, dan masih ribuan lagi regulasi yang disepakati di negeri ini. Tetapi, bencana kelaparan dan kemiskinan, apalagi korupsi bertumbuh bagaikan deret ukur. Koordinasi kebijakan dianggap lemah. Sebagai contoh, ukuran kemiskinan di Indonesia saja bervariasi, baik yang ditetapkan oleh Departemen Sosial, Badan Pusat Statistik, maupun instansi lainnya. Mempublikasikan kondisi kemiskinan, simultan memicu polemik antara pemerintah, yang ingin membentengi diri di balik angka-angka statistik itu. Sebaliknya, kelompok anti-pemerintah menilai angka-angka resmi kemiskinan adalah rekayasa politik.
Tebar pesona para pejabat ini memuakkan di tengah terjadinya krisis yang menghimpit hidup mayoritas penduduk, mulai dari ketiadaan lahan, lapangan pekerjaan, hingga antrean beras dan minyak tanah. Tampilan di surat kabar dan media elektronik sungguh memprihatinkan. Terbaca di sana betapa miskinnya negeri ini dan kebijakan yang ditempuh pemerintah justru mengekspos potret diri, hidup dan martabat penduduk, yang terdorong mencari belas kasihan pemerintah sekadar untuk hidup.
Sikap ambivalensi pemerintah dengan kebijakan-kebijakan yang tumpang-tindih belum efektif. Pada Juni 2008, pemerintah berencana menerapkan kebijakan "Smart Card" di sektor BBM, untuk menekan pemakaian BBM yang kelewat boros. Kalau disimak kebijakan baru ini, terbukti bahwa Indonesia sungguh dililit krisis energi. Energi (BBM) bertalian dengan banyak sektor, dan peluang untuk terjadinya penyelewengan akibat "Smard Card Policy" ini terbuka luas, kalau tidak ada mekanisme dan pengawasan yang benar. Menurut Lawrence E. Harrison (Culture Matters, 2000), korupsi adalah akar dari kemunduran dan keterbelakangan masyarakat.
Isu Moral
Mencermati krisis demi krisis yang terus membelit bangsa ini, seandainya sektor kebijakan dibenarkan dan bukan sebab dari segala macam krisis, maka orang mencari pada isu moral dan mental pelakunya. Kasus dana likuiditas BI yang melibatkan anggota DPR sungguh membuat rakyat apatis. Apakah anggota DPR hanya menumpang hidup selagi dipercayai rakyat atau berjuang untuk rakyat dapat hidup? Akal sehat sudah terbentur pada semua upaya untuk membendung perilaku tercela ini, kendatipun segala fasilitas telah nikmati.
Socrates, seperti dituturkan oleh Aristophanes dalam The Clouds, ketika diharuskan melahap racun, bukan taat untuk mati, tetapi lewat kematian ia buktikan bahwa nilai moral (kebenaran) itu adalah nilai tunggal yang tidak tersubsitusikan oleh apapun. Dan Socrates harus berkorban bukan untuk dirinya, tetapi demi kepentingan instansi di luar dirinya. Kita pasti bukan Socrates, yang mengusung dan mengajar kita nilai luhur, bagaimana menyelamatkan sebuah peradaban bangsa (Indonesia), hanya kalau moralitas dan mentalitas pejabat publik dan para elite belum terkontaminasi oleh virus amoral.
Moral dan mental pejabat dan pelaku KKN harus dipastikan sebagai sumber berbagai macam krisis dan tidak semata kebijakan pemerintah. Kalau aspek moral telah takluk pada perilaku koruptif, maka tidak saja angka-angka kemiskinan dapat direkayasa, tetapi kejujuran pun sudah menjadi komoditas para elite untuk diperjualbelikan.
Negeri ini tentu tidak membutuhkan penyelamat dari planet seberang untuk mengeliminasi krisis energi, krisis pangan, krisis lingkungan, krisis kepemimpinan, dan krisis moral. Pertolongan tidak ada "di sana", tetapi ada "di sini", dalam diri, kelompok melalui gerakan moral nasional seluruh masyarakat.
John Haba
Penulis adalah peneliti PMB-LIPI, Jakarta
Sumber: www.suarapembaruan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar