Cerpen  “Pipa Air Mata” (karya M Badri) dan “Jalan Sumur Mati” (karya  Olyrinson) sama-sama menampilkan potret masyarakat tempatan yang  menderita meskipun mereka tinggal di lingkungan perusahaan minyak yang  sangat kaya. Kedua cerpen ini dihimpun dalam buku Pipa Air Mata terbitan  Yayasan Sagang Pekanbaru. Tulisan singkat ini bertujuan untuk  mengungkapkan kondisi inferioritas masyarakat tempatan berbanding dengan  superioritas perusahaan minyak besar.
Eksplorasi Bumi untuk Siapa?
Judul  kedua cerita ini menunjukkan bahwa cerita ini berkaitan dengan  keberadaan sebuah perusahaan minyak. Kata “pipa” dalam judul cerita  pertama berkaitan dengan alat utama yang digunakan perusahan minyak  untuk mengalirkan minyak. Bila kita berjalan mengelilingi area ladang  minyak, maka kita akan melihat begitu panjangnya pipa. Bagi perusahaan  minyak, pipa sangat penting untuk mengalirkan minyak dari satu tempat ke  tempat lainnya. Kalau tak ada pipa entah dengan apa minyak itu  dialirkan. Tetapi dalam cerita pertama, kata “pipa” disandingkan dengan  kata “air mata”. Penyandingan ini memberikan makna yang sangat ironis  sebab pipa yang seharusnya berisikan minyak ternyata berisikan air mata.
Ini  bermakna bahwa ada penderitaan yang sangat mendalam dirasakan oleh  masyarakat tempatan dengan kehadiran perusahaan minyak. Perusahaan  minyak memang identik dengan kekayaan dan kemewahan sebab harga minya  memang sangat mahal di dunia. Makna pipa bersifat paradoks terhadap  hubungan perusahaan minyak dan masyarakat tempatan. Bagi perusahan  minyak, pipa merupakan alat untuk menghasilkan dolar sedangkan bagi  masyarakat tempatan pipa itu adalah penderitaan sebab perusahaan itu  telah menghancurkan kampung, masyarakat, dan identitas masyarakat  tempatan. Bagi masyarakat tempatan pipa minyak merupakan bencana  teknologi yang telah meluluhlantakkan kehidupan mereka.
Judul  “sumur mati” menegaskan bahwa cerita ini berkaitan dengan keberadaan  sumur minyak milik sebuah perusahaan minyak. Frasa “jalan sumur mati”  bermakna kehidupan masyarakat tempatan tidak jelas lagi sebab telah  dihambat oleh perusahaan minyak. Tanah dan hutan telah dirampas oleh  perusahaan minyak sehingga masyarakat tempatan tak punya lahan lagi  untuk dikembangkan. Bagi perusahan minyak, kandungan minyak yang  terdapat dalam perut bumi adalah uang sedangkan bagi masyarakat tempatan  itu tidak menghasilkan manfaat, padahal minyak itu terdapat di negeri  mereka sendiri. Masyarakat hanya menjadi objek penderita sedangkan pihak  perusahaan terus mendapat keuntungan yang melimpah ruah dari minyak  yang terus disedot dari perut bumi. Bagi perusahaan minyak, setiap tetes  minyak yang terdapat dalam pipa adalah dolar. Sedangkan bagi masyarakat  setiap tetes minyak yang terdapat dalam pipa adalah penderitaan yang  mereka rasakan.
Inferioritas Masyarakat Tempatan
Kemiskinan  yang dialami oleh masyarakat tempatan menjadi isu utama dalam kedua  cerpen ini. Kemiskinan itu pula yang membuat masyarakat tempatan sangat  inferior dibandingkan dengan pihak perusahan minyak. Dalam “Pipa Air  Mata” gambaran kemiskinan ditampilkan melalui tokoh Awang atau Gabriel  yang berasal dari Suku Sakai. Pengeboran minyak di kampung Awang tidak  mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Sebaliknya ia mendatang  penderitaan yang amat mendalam dan bahkan telah menghancurkan kehidupan  masyarakar Sakai seperti ungkapan Awang: “Setelah menancapkan pipa  berkarat di kampung kami, lalu menaminya dengan luka. Mengoyak kehidupan  hingga mengalirkan air mata abadi.” Begitu sangat menyedihkan gambaran  nasib masyarakat tempatan. Mereka tiada kuasa untuk menolak keberadaan  perusahan minyak sebab mereka miskin, lemah, dan tak berpendidikan.  Mereka kalah menghadang kekuatan maha besar perusahaan minyak yang  bertaraf internasional. Masyarakat kecil terlalu inferior untuk  memperjuangkan nasib mereka. Nasib mereka sekarang benar-benar  ditentukan oleh kekuatan perusahan minyak.
Dalam  “Jalan Sumur Mati” potret kemiskinan masyarakat tempatan terlihat dari  dua tokoh wanita yang mencuri pipa bekas dari tempat pembuangan pipa di  sekitar ladang minyak. Kedua wanita itu terpaksa harus mencuri pipa  untuk mendapat sesuap nasi bagi cucunya yang sedang kelaparan. Mencuri  pipa adalah keterpaksaan sebab tak ada lagi yang bisa mereka perbuat  untuk memberi makan keluarganya. Mereka bukan mencuri pipa yang sedang  berfungsi untuk mengalirkan minyak. Mereka juga pasti tak sanggup untuk  mencuri minyak. Mereka terlalu lemah untuk melakukan itu. Mereka hanya  mengambil pipa bekas yang tak berguna lagi bagi perusahan minyak seperti  yang diungkapkan oleh salah seorang wanita tua: “Sudah empat hari kami  tidak makan nasi, Bapak. Kalau aku tidak pulang membawa besi itu, cucuku  akan makan tanah. Kasihanilah kami. Kami hanya mencari besi bekas, apa  itu akan merugikan, Bapak? Kami lapar! Kami lapar! Kami hanya makan dari  remah-remah perusahaan ini. berilah kami sedikit, Bapak!”
Tetapi  mereka tetap saja dianggap mencuri oleh sang petugas sekuriti sebab  pipa itu diklaim milik perusahaan minyak. Kondisi ini sangat ironis  sebab disekitar area perusahaan yang kaya itu ternyata ada orang yang  kelaparan dan ketika masyarakat tempatan mencari sisa-sisa pipa mereka  pun dianggap pencuri.
Superioritas Barat
Kegiatan  ekplorasi minyak bumi di Indonesia selalu diatur oleh pihak luar negeri  atau pihak asing. Ini menyebakan hasil bumi kita sendiri lebih banyak  mendatangkan keuntungan bagi orang asing dari pada untuk bangsa sendiri.  Kita memang pemilik sah bumi ini tetapi karena ketidakberdayaan, kita  tak mampu mengelola bumi kita sendiri untuk kesejahteraan bangsa. Kita  hanya jadi penonton yang baik sedangkan orang asing semakin kaya karena  mengeksplorasi bumi kita. Bagi pihak asing, tidak perlu memiliki bumi  Indonesia, tetapi yang terpenting bagi mereka adalah mampu mengeruk  kekayaan alam atau bumi Indonesia. Superioritas Barat memang sangat  berperan dalam eksplorasi minyak. Bahkan mereka mampu membuat “zona  eksklusif” beralakan Barat di bumi kita sendiri. Sehingga ketika kita  masuk ke zona mereka kita pun diperlakukan sesuai dengan prosedur  mereka. Tetapi apa boleh buat, superioritas Barat telah menentukan  “takdir” kita. Mereka sangat kuat dan bahkan kekuatannya seperti “tuhan”  yang menentukan masyarakat tempatan yang lemah.
Dalam  “Pipa Air Mata”, orang asing berperanan besar dalam menghancurkan  tatanan kehidupan masyarakat Sakai. Orang asing tidak hanya  menghancurkan aspek fisik masyarakat tetapi juga menghancurkan  kebudayaan dan identitas orang Sakai. Secara fisik, hutan sebagai tempat  berteduh orang Sakai telah dihancurkan oleh orang asing yang membuka  ladang minyak di tanah orang Sakai seperti cerita Awang: “Saat itu hutan  masih lebat, rawa-rawa mengalirkan air dengan cernih. Lalu datanglah  orang-orang bertubuh tinggi besar, berambut dan berkulit merah. Mereka  datang ke hutan dengan pengawalan tentara. Survey katanya, sebab di  hutan itu ditengarai terdapat banyak minyak bumi”.
Secara  kultural, identitas orang Sakai juga telah mengalami perubahan. Ini  dapat terlihat dari persoalan identitas diri anak orang Sakai yang  bernama Awang. Orang asing yang bernama William yang bekerja di  perusahaan minyak telah merubah nama Awang menjadi Gabriel. Dengan  kekuasaanya ia mampu merubah nama Awang menjadi Gabriel sebab ia telah  mengangkat Gabriel menjadi anak angkat. Ini bermakna orang Barat telah  menjadikan orang Sakai tidak menjadi diri mereka sendiri. Dalam konteks  poskolonialsime, dominasi Barat telah membuat orang Timur semakin  tersingkirkan. Meskipun Awang telah menjadi Gabriel, Awang tetap  berupaya untuk mempertahankan jati dirinya: “Aku bukan Gabriel, si  malaikat itu. Bukan, aku bukan malaikat. Aku Awang si anak sakai degil,  si anak hutan yang takut pada suara gergaji mesin dan buldoser. Lalu  kenapa namaku menjadi Gabriel? Apa karena si keparat William, ah bukan  keparat. Dia menjadi papaku, orang asing yang membesarkanku. Setelah  kampungku luluh lantak, tanpa bekas. Betul, tanpa bekas.”
Dalam  diri Awang ada pertentangan. Akankah ia menyalahkan orang Asing yang  telah menghancurkan kampungnya? Tetapi sulit bagi Awang untuk  menyalahkan orang Asing sebab ia sendiri telah dibesarkan oleh orang  asing. Ini lah perangkap orang asing yang sebenarnya. Ia seolah-olah  menolong kita tetapi ada perangkap yang mengikat kita supaya kita terus  bergantung dengan mereka.
Dalam  “Jalan Sumur Mati” keterlibatan orang asing dalam mengekploitasi hasil  bumi Indonesia terlihat dari keberadaan perusahaan minyak yang dimiliki  oleh orang asing. Meskipun secara eksplisit cerita ini tidak menggunakan  sebuatan orang asing, citra perusahaan minyak di Indonesia selalu  berkaitan dengan dominasi orang asing. Apalagi di Riau, perusahaan  minyaknya berkaitan erat dengan perusahaan asing. Dengan demikian,  kekuatan Barat juga sangat membelenggu dua orang wanita tua yang mencuri  pipa. Kekuatan Barat telah menyebabkan mereka tidak mampu hidup secara  layak di tanah air mereka sendiri.
Penutup
Bila  kita pergi ke Minas, Duri, Dumai dan beberapa daerah sekitarnya, kita  akan lebih merasakan kondisi masyarakat sekitar area ladang minyak  seperti yang digambarkan kedua cerita ini. Kedua cerita ini telah  mengangkat realitas kehidupan masyarakat sekitar area operasional  perusahaan minyak. Kedua cerita ini dapat menggugah hati ketika kita  melihat penderitaan, kemiskinan, dan inferioritas masyarakat tempatan.  Adalah ironis ketika pipa minyak yang mengantarkan ribuan dolar bagi  orang asing, bagi pemerintah pusat, bagi pejabat, dan bagi kelompok elit  lainnya. Tetapi bagi masyarakat tempatan ternyata pipa itu bermakna  penderitaan sebab perusahaan telah mengancurkan tatanan kehidupan  mereka.
Masyarakat tempatan  menjadi semakin hilang jati diri akibat dipaksa untuk meninggalkan  kebudayaan mereka. Mereka terpaksa meninggalkan cara hidup dan tradisi  mereka. Mereka dipaksa hidup secara modern tetapi sayangnya mereka tidak  disiapkan untuk itu sehingga mereka selalu kalah bersaing dengan orang  lain. Untuk kembali hidup dengan tradisi mereka, mereka tak bisa lagi  sebab hutan dan alam mereka telah dirusak. Untuk bersaing dengan orang  modern mereka juga tak sanggup. Akibatnya, mereka menjadi masyarakat  yang mengambang, inferior, dan tidak tentu arah sehingga mereka akan  selalu menjadi objek penderita dalam persaingan di dunia ini.
Oleh Dr Junaidi(Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Dosen S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Muhamadiyah Riau)
Sumber: Riau Pos, 29 November 2009
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar