Tertangkapnya Gayus Tambunan (GT) sebagai tersangka mafia pajak yang bernaung di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak membuka benang merah kasus markus (makelas kasus) lainnya. Dalam Rapat Dengar Pendat (RDP) Komisi XI (Bidang Keuangan) dengan jajaran Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, terungkap adanya potensi sekitar 10% dari petugas pajak melakukan markus. Akibat hal ini, diperkirakan kebocoran keuangan negara dari sektor pajak mencapai Rp 80 triliun.
NERACA
"Maka untuk mengatasinya kalau perlu seluruh pegawai Ditjen Pajak melakukan Sumpah Pocong, agar kinerjanya dapat dilakukan dengan jujur," kata Muradi Darmansyah anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Hanura dalam RDP, di Jakarta, Rabu (7/4). Hadir dalam RDP antara lain Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo serta rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng.
Menurut Muradi, untuk menghindari praktik markus pertama yang harus diperbaiki adalah aspek moral. Ini diharapkan setiap pegawai pajak tidak melakukan hal yang sama yakni melakukan markus seperti yang dilakukan oleh GT. Sebab, lanjut Muradi, apabila ada 10% yang bermain markus sedikitnya 23 ribu pegawai pajak melakukan tindakan markus. 1 Muradi menilai, terbukanya kasus Gayus menjadi contoh yang tidak baik dalam internal Kementerian Keuangan khususnya Ditjen Pajak. Bahkan, kasus GT dapat memicu rasa sakit masyarakat dengan melampiaskan melalui pemboikotan bayar pajak, "bagaimana diupayakan agar boikot pajak tidak jadi penyakit atau musibah," katanya.
Sementara, menurut Nusron Wahid politikus Fraksi Golkar, Ditjen Pajak senantiasa berkelit jika menghadapi masalah di internal Kementeriannya. Dia menyebutkan, salah satunya ketika rendahnya tax ratio karena iklim investasi di Indonesia masih mengandalkan kebijakan stimulus dan kemudahan bagi investor.
Hanya saja, kata Nusron, hipotesa yang selama ini dianut oleh birokrat yang berwenang selalu mengutip upeti bagi negara itu, bahkan dapat dimentahkan dengan merebaknya kasus mafia kasus pajak. "Kasus Gayusitu merupakan jawaban bahwa hipotesa Dirjen Pajak tentang rendahnya tax ratio di Indonesia karena banyaknya markus-markus seperti Gayus," tegasnya.
Nusron mencontohkan, tax ratio di negara-negara maju hingga 16% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). "Dengan asumsi tax ratio Indonesia mencapai 16% dari total PDB, maka markus-markus baik yang berdasi maupun yang kelas teri akan memakan setidaknya Rp 204 triliun potensi pajak nasional," urainya.
Bahkan Ditjen Pajak Mochammad Tjiptardjo masih membanggakan dirinya dengan menyatakan bahwa dirinya telah berhasil menagih para penunggak wajib pajak (WP). Adapun besar tunggakan yang berhasil ditagihnya sebesar Rp 5,6 triliun dari 100 WP besar yang menjadi penunggak pajak besar selama kuartal I tahun 2010. Dengan demikian tagihan pajak yang tersisa dari 100 UV besar tersebut adalah Rp 11,9 triliun dari tagihan sebelumnya di awal tahun yang tercatat sebesar Rp 17,5 triliun. "Selama kurun waktu tiga bulan turun Rp 5,6 triliun dari berbagai macam cara," katanya.
Menurut Tjiptardjo, pengurangan tagihan tersebut diperoleh dari pembayaran" WP sebesar Rp 1,59 triliun, pemindahbukuan (satu sisi masih ada utang) sebesar Rp 3,81 triliun, yang berkaitan dengan keberatan sebesar Rp 24 miliar dan banding yang dimenangkan wajib pajak sebesar Rp 200 miliar. "Dengan demikian, Dirjen Pajak telah berhasil menyelesaikan 25% tagihan dari target 44% di tahun 2010 ini hingga Maret 2010. ladi realisasinya sudah sesuai rencana," paparnya.
Namun, Ditjen Pajak tetap melakukan langkah-langkah untuk terus menagih tunggakan termasuk 11 BUMN. Caranya dengan melayangkan 100 surat tagihan dan tegoran. Maka 13 WP diantaranya sudah dilakukan penyitaan, diantaranya 5 sudah dalam proses lelang, 10 WP sudah dilakukan pemblokiran rekening, pencegahan ke luar negeri terhadap 12 WP dan penyanderaan terhadap satu WP.
BUMN Tunggak Pajak
Menurut Tjiptardjo, berdasarkan data pajak per l.ii[ii,iM 2010 masih terdapat 16 BUMN yang masih memiliki tunggakan pajak hingga Rp 6,5 triliun. Na mun jumlah tunggakan tersebut sudah berkurang sebesar Rp 3,8 triliun atas pembayaran 5 perusahaan BUMN. "Sehingga sisa jumlah tunggakan untuk 11 perusahaan BUMN yang masih tersisa sebesar Rp 2,6 triliun. Sedangkan uang yang sudah dicairkan Rp 3,8 triliun dari 5 wajib pajak," jelasnya.
Sedangkan untuk ke-11 perusahaan penunggak pajak tersebut, Tjiptardjo menyatakan telah melayangkan surat teguran dan telah dilakukan penindakan. Akan tetapi, terdapat perusahaan BUMN yang sama sekali tidak memiliki aset, tetapi ada juga yang memiliki aset namun tidak mampu membayar tunggakan. Untuk perusahaan seperti iu, Tjipatrdjo menegaskan perlunya penyitaan aset. "Saat ini telah dilakukan penindakan. Surat teguran, surat paksa, ada juga pemblokiran. Bahkan ada beberapa BUMN yang memang asetnya sudah gak ada. Ada juga yang BUMN yang memang nggak memungkinkan bayar, saya usulkan asetnya disita," tambah nya.
Harian Ekonomi Neraca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar