Di setiap negara, persoalan kemiskinan menjadi masalah yang sangat kompleks yang dihadapi oleh seluruh pemerintahan. Begitu juga persoalan kemiskinan di negeri ini, tentunya mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembangunan bangsa. Sudah menjadi trend di setiap pemilihan presiden, gubernur, hingga bupati tema dan jargon kampanye takkan terlepas dari persoalan ini. Kemiskinan seolah indentik dengan sebagian besar masyarakat kita, hingga bermunculan indikator-indikator yang dapat mengukur tingkat kemiskinan penduduk entah itu dalam versi mana saja.
Sering juga kita saksikan bagaimana perdebatan yang pro maupun kontra dalam melihat persoalan kemiskinan. Baik itu mengenai data hingga metode perhitungan tingkat kemiskinan itu sendiri, hingga tak jarang perdebatan itu berujung pada tataran data, berapa jumlah masyarakat miskin, yang kemudian jauh dari fokus bagaimana menuntaskan kemiskinan di negeri ini.
Secara umum kemiskinan lazim diartikan sebagai kondisi dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih bermartabat. Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain; tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dan kondisi lingkungan.
Definisi beranjak dari pendekatan berbasis hak yang menyatakan bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau kelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.
Akan tetapi, parameter yang lazim digunakan para analis dalam menetapkan jumlah kemiskinan lebih cenderung pada pendekatan pemenuhan kebutuhan pokok. Dari hal ini, seseorang dikatakan miskin manakala dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya, yakni; makanan, asupan kalorinya minimal 2.100 kkal/hari per kapita. Dalam perkembangannya, perhitungan angka kemiskinan dari segi pendapatan tidak dapat mencerminkan kemiskinan di Indonesia secara sepenuhnya, banyak penduduk Indonesia yang ’tidak miskin dari segi pendapatan’ dapat tergolong miskin berdasarkan kurangnya akses mereka terhadap layanan publik dan buruknya indikator-indikator pembangunan manusia mereka.
Dari data yang didapat, pada tahun 2005 jumlah rakyat miskin mencapai 35,1 juta jiwa (15,97 persen) dan meningkat menjadi 39,05 juta jiwa (17,75 persen) pada tahun 2006. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin diperkirakan masih cukup besar dibandingkan jumlahnya sebelum tahun 2006. Pada tahun 2008 menurut Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) memperkirakan warga miskin tahun ini akan bertambah menjadi 41,7 juta orang (21,92 persen). Dengan kata lain tambahan penduduk miskin tahun ini naik 4,5 juta dibandingkan posisi 2007. Pada tahun 2009, Bappenas (Badan Perencanaan Pembagunan Nasional) memperkirakan tingkat kemiskinan di Indonesia tahun 2009 sebesar 14 persen.
Dalam pasal 34 UUD 1945 diterangkan bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Negara menjamin dan bertanggung jawab dalam penuntasan kemiskinan di negeri ini karena dijamin oleh konstitusi. Terlepas dari banyaknya perdebatan mengenai metode, angka perhitungan tingkat kemiskinan antara kelompok tertentu baik itu pemerintah dan non-pemerintah dalam hal keberhasilan penuntasasan kemiskinan, tidak dapat dimungkiri kemiskinan tetaplah menjadi potret negeri ini. Sehingga dibutuhkan upaya yang sistematis dalam penuntasan kemiskinan bukan malah menjadi polemik berkepanjangan yang sarat dengan muatan politis.
Dari beberapa penelitian Diagnosa kemiskinan menunjukan bahwa perbaikan dalam sektor pendidikan (educational endowment) – diatas pendidikan sekolah dasar – adalah faktor kunci dalam pengentasan kemiskinan. Dan kemajuan dalam usaha mengentaskan kemiskinan baru-baru ini didominasi oleh dampak terhadap sumber daya manusia dari efek endowment dan return. Investasi terhadap rakyat miskin melalui pertumbuhan ekonomi, perencanaan dan penganggaran belanja yang berpihak pada masyarakat miskin adalah sangat penting. Ditambah lagi, rakyat miskin harus dapat dihubungkan dengan kesempatan-kesempatan pertumbuhan, melalui hal-hal seperti akses terhadap infrastruktur, jalan dan kredit.
Dibutuhkan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menuntaskan kemiskinan, akses terhadap pendidikan dan pelayanan publik mau tidak mau harus dirampingkan sedimikian mudah, hingga tidak ada lagi diskirminasi dalam pelayanan publik dan mahalnya biaya pendidikan. Namun bangsa ini tetap saja akan menjadi bangsa yang sangat identik dengan potret kemiskinan bila elite-elite negeri ini terlalu lama terjebak dalam perdebatan ‘berapa jumlah rakyat miskin’ (yang sarat dengan muatan politis) namun lupa bagaimana menuntaskan kemiskinan agar jauh dari bumi pertiwi.
Sumber: www.fokal.info
Tidak ada komentar:
Posting Komentar