Hari  Sabtu (16/10) kita kembali merayakan Hari Pangan Sedunia (World Food  Day). Perayaan yang bertepatan dengan tanggal berdirinya Organisasi  Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1979 saat sidang umum Organisasi Pangan  dan Pertanian se Dunia ke-20 di Roma mengambil tema "Kemandirian Pangan  untuk Memerangi Kelaparan". Perayaan Hari Pangan Sedunia (HPS) tahun ini  memiliki arti penting untuk memperkuat kesadaran masyarakat terhadap  masalah pangan di dunia dan membangun solidaritas untuk mengurangi  kelaparan dan kemiskinan.
Indonesia memiliki sumber daya alam  yang melimpah. Terutama dalam hal pangan maka sudah semestinya  pemerintah mampu untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya untuk  kesejahteraan rakyat agar tidak terjadi kelaparan di beberapa daerah.  Namun, ironisnya masih didapatkan orang yang mengalami kelaparan di  negeri beras ini.
Busung Lapar di Negeri Beras
Berbicara  kelaparan pasti tidak dapat dipisahkan dengan kemiskinan. Ini artinya  semakin tinggi angka kemiskinan berarti semakin tinggi peluang orang  yang lapar atau terkena penyakit busung lapar. Menurut BPS memperkirakan  hingga akhir tahun 2010 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 31,02  juta jiwa dan 19,93 juta jiwa atau 64,2 persen di antaranya tinggal di  perdesaan.
Ada pun berdasarkan data terakhir FAO mencatat  penduduk yang kekurangan gizi di seluruh dunia mencapai 1,02 miliar.  Sementara jumlah penduduk yang kelaparan di Indonesia hingga saat ini  masih terus mengalami lonjakan yakni terdapat sebanyak 150 juta orang  kelaparan hingga akhir tahun lalu dan menurut Global Hunger Index (GHI)  2010 Indonesia masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level  'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'.
GHI tahun 2010  menunjukkan bahwa gizi buruk anak adalah penyebab terbesar kelaparan di  seluruh dunia. Menyumbang hampir setengah dari semua kasus kelaparan  yang ada.
Fenomena kemiskinan dalam bentuk busung lapar dan  kelaparan yang terjadi di Indonesia justru menjadi aneh karena negara  kita ini adalah negara agraris. Memiliki lahan yang setiap jengkalnya  dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman, dan hamparan luas daratannya  mencapai sekitar 192 juta hektar dan makanan pokoknya pun tidak hanya  nasi (padi) tetapi terbagi pada sagu, jagung, dan ubi-ubian.
Tanpa  pendekatan bioteknologi pun lahan negeri kita ini mampu menyediakan  pangan untuk seluruh penduduknya. Bahkan, berlebih. Sepantasnya kita  menjadi negara pengekspor hasil-hasil pertanian dibandingkan  negara-negara lain. Bukan sebagai negara pengimpor. 
Masalahnya  ternyata pada sistem yang diterapkan di negara ini yaitu Kapitalisme  dan mentalitas pengelola negara serta penduduknya. Bukan kelangkaan  lahan pertanian yang jadi masalah. Tetapi, penguasaan lahan pertanian  dan kualitas penguasa dan masyarakat kita.
Dalam sistem  Kapitalisme lahan pertanian dinilai sebagai barang ekonomis yang bisa  dimiliki oleh siapa pun tanpa batas. Peranan negara hanya sebatas  administratif dan fasilitator. Hal ini jelas sangat berbahaya sebab  tanah merupakan aset yang tidak terbaharukan (nonrenewable), luasannya  tetap, sedangkan penggunanya akan terus bertambah.
Bisa  dibayangkan oleh kita ada satu orang konglomerat memagari puluhan bahkan  ratusan hektar lahan pertanian di Pulau Jawa tanpa dikelola sama  sekali. Sementara banyak masyarakat kita yang miskin jangankan untuk  menguasai hektaran lahan untuk sekadar berteduh pun atau menguburkan  jenazahnya pun tidak punya. Ini jelas kesalahan dan kedzoliman sistem  yang luar biasa. Sebab, tanah ini ciptaan Allah yang disediakan untuk  hidup dan menghidupi semua makhluk ciptaan-Nya.
Penyediaan  pangan bagi rakyat merupakan hak asasi seluruh rakyat dan kewajiban  utama dari negara. Oleh karena itu bila kita berbicara pertanian maka  kita tidak dapat melepaskannya dari sistem pemerintahan (politik).
Melihat  konsumsi terhadap beras yang setiap tahun terus meningkat pemerintah  jelas harus memiliki strategi yang jelas demi ketahanan pangan nasional.  Strategi ini tidak cukup hanya ditangani oleh suatu kementerian.  Misalnya Kementerian Pertanian. Perlu penanganan dan kerjasama antar  kementerian.
Untuk hal ini bisa ditempuh dua jalan. Pertama:  dengan jalan intensifikasi (peningkatan produksi) yakni dengan melakukan  berbagai usaha untuk meningkatkan kesuburan tanah, menanam varietas  yang produktifitasnya tinggi dengan umur tanam singkat, pengendalian  Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang ramah lingkungan, dan lain-lain.
Kedua:  dengan ekstensifikasi (perluasan). Seperti menambah luas area yang akan  ditanam. Ekstensifikasi pertanian bisa dicapai dengan mendorong agar  masyarakat menghidupkan tanah yang mati. Caranya, Pemerintah memberikan  tanah secara cuma-cuma kepada mereka yang mampu bertani tetapi tidak  memiliki tanah. Sebaliknya, pemerintah harus mengambil tanah secara  paksa dari orang-orang yang menelantarkannya selama tiga tahun  berturut-turut.
Supaya lebih strategis kebijakan politik  pertanian ini harus dipadukan dengan strategi politik industri. Sebab,  berbicara tentang peningkatan produktivitas pertanian perlu adanya  mekanisasi pertanian yang dihasilkan dari mesin-mesin pertanian produk  industri.
Akhirnya melalui perayaan Hari Pangan Sedunia 2010  ini kita berharap akan muncul komitmen baru pemerintah untuk mengurangi  kelaparan dan kemiskinan yakni dengan menjamin kebutuhan pokok setiap  individu rakyat. Di antaranya adalah kebutuhan pangan.
Oleh: Andi Perdana Gumilang SPi 
(Penulis adalah Tim Markom Lembaga Pertanian Sehat) 
www.harian-global.com 
 
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar