Sabtu, 23 Oktober 2010
Negeri Penuh Ironi
Negeri ini penuh ironi. Negeri yang punya segalanya, tetapi kekurangan banyak hal.
Laut kita luas, tetapi isi yang melimpah tak membuat nelayan kaya. Gas kita melimpah, tetapi pabrik pupuk kelimpungan, bahkan beku operasi, kesulitan gas. Sumber batu bara kita bejibun, tetapi setrum PLN byarpet karena pasokan batu bara mampat.
Studi The Economist (2003) mencatat 10 komoditas pertanian Indonesia (beras, lada, kopi, cokelat, minyak sawit, karet, dan biji-bijian) menduduki peringkat 1-6 dunia. Pertanyaannya, apakah petani dan pekebun 10 komoditas itu sejahtera? Tidak. Yang menikmati nilai tambah komoditas unggulan itu justru negara lain, dan kita tak menikmati apa-apa. Inilah tragedi.
Tragedi itu tergambar dalam ungkapan, ”Kita punya barang, mereka punya harga.” Nilai tukar (terms of trade) dalam transaksi perdagangan mencerminkan posisi tawar suatu produk. Kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Lebih dari setengah abad lalu, ekonom Argentina Raul Prebisch dan ekonom Jerman Hans Singer mengingatkan, nilai tukar riil produk primer pertanian atas produk manufaktur menurun secara permanen. Produk primer cenderung fluktuatif, sedangkan produk jadi terus meningkat atau stabil. Ekonomi yang menggantungkan diri pada produk primer menghadapi kepincangan harga yang tajam bila berhadapan dengan pemilik teknologi. Bahan mentah ditekan rendah, sementara teknologi harus dibayar dengan harga super mahal.
Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbesar kedua di dunia setelah Vietnam. Apakah petani, eksportir, pedagang besar, atau pedagang pengumpul yang menentukan harga? Bukan. Penentu harga ada di London (London International Financial Futures Exchange/LIFFE).
Alam memungkinkan kita menjadi produsen kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Namun, harga komoditas kakao ditentukan di New York Board of Trade.
Kita mengekspor minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia mengalahkan Malaysia, tetapi harga CPO Indonesia didikte Rotterdam untuk pasar spot dan Kuala Lumpur untuk harga kontrak berjangka. Ironi ini sudah berlangsung puluhan tahun.
Mulai 22 Juni 2009, dominasi Rotterdam sebagai basis acuan harga jual ekspor CPO ”diambil alih” lewat perdagangan CPO fisik di Bursa Berjangka Jakarta, usaha itu patut dihargai.
Kita memproduksi 19,2 juta ton CPO, jauh meninggalkan Malaysia (15,9 juta ton). Dari jumlah itu, 5 juta ton CPO diserap pasar domestik, sisanya diekspor. Indonesia-Malaysia memasok 80 persen produksi CPO dunia. Dengan kondisi seperti itu, sejatinya Rotterdam tidak layak menjadi basis acuan harga ekspor karena perdagangan CPO di Eropa hanya 2,5 juta ton per tahun.
Usaha seperti itu harus dilakukan untuk semua produk unggulan: minyak sawit, karet, kopi, kakao, tebu, lada, dan biji-bijian. Selama ini kita terlena hanya berproduksi, tidak pernah menggarap pasar dan mengolahnya menjadi aneka produk turunan. Sebagai produsen utama, sudah seharusnya kiblat harga sejumlah komoditas unggulan itu ada di dalam negeri, bukan di negeri orang. Dengan demikian, saat ekspor kita tidak perlu melakukan berbagai perhitungan penyesuaian, mulai dari diskon harga atas kualitas produk, ongkos angkut, asuransi, kurs mata uang asing, dan lainnya seperti selama ini. Sebagai produsen utama seharusnya kita yang meraih nilai tambah lebih besar dengan memperdalam industri pengolahan, bukan negara lain.
Sementara itu, sejak ratusan tahun lalu, negara-negara maju menyiapkan salah satu pilar ekonomi pasar, bernama bursa berjangka. Bursa ini bisa menjadi wahana bertemunya semua permintaan dan penawaran dari seluruh dunia hingga terbentuk harga tepercaya, yang kemudian menjadi kiblat pelaku ekonomi yang memiliki commercial interest terhadap produk bersangkutan. Mekanisme bursa berjangka tidak hanya menangkap permintaan dan penawaran atas satu produk saat ini, tetapi juga permintaan dan penawaran produk pada masa datang. Ini mencerminkan ekspektasi kondisi pasar produk itu pada masa datang (Mahmud, 2007).
Ekspektasi harga inilah yang kemudian menjadi mesin penggerak utama keputusan ekonomi, seperti memproduksi, mengolah, membeli, menjual, menyimpan, menabung, dan membelanjakan. Melalui mekanisme ini akan tercipta harga acuan pada masa datang. Informasi harga ini akan menjadi acuan berharga bagi petani dan pekebun untuk menanam atau tidak menanam sebuah komoditas. Ini menjadi petunjuk mereka saat panen nanti. Dengan serius menggarap pasar dan memperdalam industri pengolahan, semoga kita bisa mengakhiri aneka ironi di negeri ini.
Oleh: Khudori Penulis Buku Ironi Negeri Beras; Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
Sumber: www.cetak.kompas.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar