Sabtu, 23 Oktober 2010

Ibadah Haji dan Potret Kemiskinan Kita


Mengapa ibadah haji dengan kemiskinan harus disandingkan? Apa hubungannya? Bukankah orang yang mampu (istitha’ah) yang dapat berangkat melakukan ibadah haji ke Mekah dan sekitarnya? Mungkin pertanyaan-pertanyaan itu yang muncul dibenak kita ketika melihat judul artikel di atas. Tentu, bukan bentuk hubungan seperti yang penulis maksudkan. Ibadah haji tentu tidak identik dengan kemiskinan, bahkan sebaliknya, ibadah haji sangat identik dengan kemampuan termasuk kemampuan ekonomi. Karenanya, logika sederhana dapat kita katakana, “semakin banyak orang yang mampu berhaji dari sebuah negara menunjukkan semakin makmur negara tersebut”.
  
Jadi, semakin banyak orang Indonesia yang mampu berangkat haji, berarti (minimal salah satu indikator) bahwa negara ini semakin makmur. Logika silogisme bisa saja dijadikan alat pembenar “tesis” di atas. Namun, logika silogisme ini tampaknya “tidak nyambung” digunakan dalam konteks negara kita. Kenyataannya bukan demikian. Bukan hukum logikanya yang tidak benar, namun faktanya berbicara lain.

Seperti kita ketahui Indonesia adalah negara terbanyak mengirimkan duta haji ke Kota Makkah. Bahkan saking ramainya, untuk mendapatkan seat berhaji, ribuan orang harus “antrean” bertahun-tahun masuk dalam daftar tunggu. Sedangkan disisi lain, fakta menunjukkan bahwa negeri ini masih terhimpit beban kemiskinan dan kemelaratan yang cukup berat. Sampai disini, penulis melihat bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa ada yang ‘tidak beres’ dengan dua fakta yang sungguh paradok (bertolak belakang).

Suasana semarak, riuh sekaligus haru mengiringi ribuan jama’ah haji yang sedang dan akan berangkat setiap tahunnya. Seiring dengan itu, mungkin tepat di samping rumah kita, tetangga, atau di pinggir jalan menuju bandara yang memberangkatkan kita haji juga jelas terlihat pemandangan kemiskinan dipelupuk mata. Jutaan penduduk Indonesia masih hidup dibawah garis kemiskinan. Data menunjukkan, jumlah penduduk miskin (pada Maret 2010) mencapai 31,02 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk. Bahkan jika merujuk pada standar kemiskinan dunia, angka di atas lebih besar lagi.

Himpitan kemiskinan menyebabkan banyaknya anak-anak yang harus rela putus sekolah. Siswa yang putus sekolah di tingkat SD dan SMP mencapai angka 768.900 orang terdiri atas 527.850 siswa SD dan 241.110 siswa SMP. Sekitar 920.000 siswa lulusan SD tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP, bahkan lebih jutaan (1,26 juta) siswa SMP yang tidak sanggup melanjutkan jenjang pendidikan ke SMA sederajat, belum lagi sejumlah anak yang tidak terdata. Dan mayoritas disebabkan persoalan ekonomi yang tidak mencukupi.

Nah, apa faktor penyebab kondisi ini terjadi?. Banyak sisi yang dapat kita gunakan untuk menganalisa faktor ini. Namun, bahwa faktor penyelengaraan negara yang koruptif menjadi penyebab utama terjadinya kemiskinan. Negeri ini adalah salah satu negera terkorup di dunia. Sebab, prilaku koruptif telah menjadi bagian yang lekat dalam kehidupan bernegara kita saat ini. Prilaku koruptif terjadi hampir disemua dimensi kehidupan kita, dari mulai mengurus KTP di kantor kelurahan hingga mengurus anggaran di DPR dan pemerintahan pusat. Lain lagi pekerjaan pejabat negara yang senang menjual “negeri” kepada bangsa asing, baik melalui kebijakan oleh pemerintah maupun lewat “jualan undang-undang” oleh bapak-bapak terhormat di DPR. Ironisnya, penegak hukum sendiri lebih didominasi oleh para koruptor ketimbang juris yang menegakkan hukum. Lengkaplah sudah kriteria negeri sebagai negara koruptif. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika negeri yang kaya ini jatuh ke dalam kubang kemiskinan.

Faktor Kesadaran dan Pemahaman Keagamaan

Namun, tentu kita tidak hanya berhenti sampai menyalahkan prilaku dan sistem pemerintahan yang sedang berkoruptif-ria ini. Lebih dari itu, pantas kita merenungkan kesadaran keberagamaan kita saat ini. Sebenarnya, terdapat beberapa pengamalan agama yang juga kita “korupsi” untuk kepentingan pribadi. Korupsi yang dimaksudkan tentu bukan mengambil hak orang lain secara kasat mata, namun kesadaran bahkan kesalahan memahami ajaran agama itu sendiri.

Pertama, kesadaran untuk menjalankan perintah agama. Islam sebagai sebuah sistem sebenarnya mempunyai seperangkat nilai dan sistem yang menjadikan manusia hidup dalam keseimbangan. Bukankah ajaran Islam memerintahkan kita untuk berzakat, infak sedekah sekaligus sistem ekonomi yang menyejahterakan. Sungguh, kemiskinan negeri (khususnya umat Islam) juga disebabkan oleh prilaku “korupsi” orang yang tidak melakukan kewajibannya membayar zakat. Bukankah orang yang membayar zakat adalah orang yang tidak rela memberikan sebagian hartanya kepada orang yang berhak menerimanya. Bukanlah itu korupsi?. Padahal potensi zakat Indonesia cukup besar dan signifikan untuk membantu dan memberdayakan ekonomi umat. Dalam hitungan Badan Zakat Nasional (BAZNAZ), potensi zakat umat Islam Indonesia dapat mencapai 21 trilun lebih setiap tahun. Belum lagi instrumen filantropi Islam lainnya, seperti dana sedekah, infak wakaf dan seterusnya. Jika saja potensi minimal itu dapat terkumpul dan diberdayakan secara maksimal  maka tingkat kemiskinan di negeri akan mengalami penurunan yang siginifikan.

Kedua, kesalahan sebagian umat Islam dalam memaknai keindahan beribadah dalam berhaji. Yang penulis maksudkan adalah betapa masih banyak saudara-saudara kita melakukan haji secara berulang-ulang demi kepuasaan spritualitas an sich. Sebagian saudara-saudara kita menganggap ibadah yang terbaik itu hanya ketika berada di depan Ka’bah dan sekitarnya. Tentu, penulis tidak bermaksud merubah hukum haji kedua dan seterusnya tidaklah sunnah. Dalam konteks melihat potret kemiskinan kita yang masih sangat memprihatinkan, alangkah baiknya dana haji yang kedua atau kesekian kalinya digunakan untuk memberdayakan ekonomi umat yang sedang melarat, membebaskan saudara kita yang masih dililit persoalan kemiskinan. Dengan perkataan lain, konteks kemiskinan saat ini hendaknya merubah paradigma ibadah yang bersifat pribadi (private minded) menjadi bersifat sosial (social minded). Sejatinya, melakukan ibadah haji secara berulang-ulang menjadi tidak relevan mengingat kondisi umat yang masih berjibaku dengan kemiskinan.

Masihkah kita ingat dengan sebuah kisah seorang hamba Allah sangat berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji. Ia pun bekerja keras untuk mengumpulkan uang dan segala persiapannya. Setelah empat puluh tahun lamanya ia mengumpukan uang, akhirnya cukuplah uang sebanyak 350 dirham (perak) yang merupakan hasil dagang sepatu. Ketika musim haji tiba, hamba Allah tersebut beserta istrinyapun bersiap diri untuk berangkat. Ketika menjelang keberangkatan, sang istri mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangga sebelah rumahnya. Hamba Allah tersebut pun mendatangi dan memohon diberikan sedikit makanan tersebut. Namun, tetangga tersebut langsung menangis sambil menceritakan kisahnya. Ia bercerita bahwa telah tiga hari anak-anaknya tidak mempunyai makanan sedikitpun, ketika ia melihat seekor keledai mati di tengah jalan, iapun mengambil dan memasaknya agar anaknya tidak mati kelaparan. Terkejut mendengar kisah tersebut, hamba Allah tersebut langsung pulang ke rumah untuk mengambil uang keberangkatan haji dan memberikan kepada tetangganya tersebut seluruhnya. Oleh malaikat, orang inilah yang sesungguhnya mendapatkan haji mabrur walau ia tidak berangkat melaksanakan haji di Kota Mekah dan sekitarnya.

Bukankah saat ini masih banyak umat yang mengalami kemiskinan yang akut seperti kisah di atas, bahkan lebih dari itu? Karenanya, cara pandang berhaji berkali-kali suatu hal yang wajib kita ubah ketika melihat potret kemiskinan negeri ini. Islam melarang umatnya bersifat egoistis yang hanya ingin menikmati kepuasan spritualitas ibadah pribadi dengan membiarkan saudara kita masih menikmati kemiskinannya.

Penutup
Tentu, persoalan kemiskinan bukanlah persoalan sederhana. Banyak faktor yang menjadikan persolan kemiskinan belum dapat terselesaikan terutama prilaku koruptif. Namun demikian, kesadaran akan berbagai instrumen keuangan Islam seperti zakat, infak, sedakah serta sistem ekonomi yang adil akan dapat menjadi bagian dari solusi. Tidak hanya itu, merubah paradigma ibadah ke arah social minded dengan menekankan sikap empati melihat potret kemiskinan negeri ini ketimbang berhaji berkali-kali juga bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Wallahua’lam.
Mustafa Kamal Rokan
Penulis adalah Dosen Fak. Syariah IAIN Sumatera Utara 


www.waspada.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts with Thumbnails